Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Isra Miraj

Pada setiap tanggal 27 Rajab,kaum muslimin pada umumnya memperingati perayaan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Adanya peringatan ini merupakan momentum yang baik sekali untuk dimanfaatkan, sebagai upaya untuk merenungkan makna dan hikmah yang terkandung dalam peringatan tersebut, karena diyakini bahwa setiap peristiwa yang diciptakan Alloh SWT sudah pasti mengandung hikmah, tujuan, dan manfaat bagi kehidupan manusia. Berkenaan dengan itu, pada bagian ini kita akan mengkaji secara selintas tentang makna yang terkandung di dalam peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Secara harfiah Isra’ artinya diperjalanan di waktu malam. Sedangkan dalam pengertian yang umum dikemukakan oleh ulama, Isra adalah diperjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Sedangkan mi’raj secara harfiah berarti dinaikan. Sedangkan dalam pengertian yang umum dikemukakan para ulama, mi’raj artinya dinaikkannya Rasululloh SAW dari Masjidil Aqsha di Palestina ke langit ke tujuh, hingga Sidratul Muntaha untuk berjumpa dan menerima amanat dari Alloh SWT.

Untuk mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam peristiwa Isra’ dapat dikemukakan ayat al-Qur’an sebagai berikut :
Surat al-Isra 17:1
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١)
Artinya : Maha suci Alloh yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Berdasarkan ayat tersebut terdapat empat hikmah dan pesan spiritual yang terkandung dalam peringatan Isra’ Mi’raj sebagai berikut :

1.    Peristiwa Isra’ Mi’raj mengingatkan akan kekuasaan Alloh SWT yakni segala sesuatu dapat terjadi dengan mudah jika sudah dikehendaki-Nya. Sebagaimana dicatat dalam sejarah bahwa Isra’ adalah diperjalankannya Nabi Muhammad SAW di waktu malam, dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina dalam waktu yang amat singkat. Padahal jarak tempuh antara Mekah dan Masjidil Aqsha jika dengan menggunakan jalan kaki sekitar satu bulan pulang-pergi. Belum lagi Mi’raj yang artinya dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsha di Palestina ke langit melewati ruang angkasa yang jaraknya demikian jauh hingga sampai ke Shidratul Muntaha, batas ujung alam dan berjumpa dengan Alloh SWT. Peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Namun semuanya itu terjadi karena kehendak Alloh SWT.

Dalam hubungan ini maka peristiwa Isra Mi’raj berkaitan dengan pengujian terhadap keimanan yang dimiliki seseorang. Jika imannyua kokoh, ia akan mengakui dan membenarkan peristiwa tersebut, sebagaimana yang diperhatikan oleh Abu Bakar al-Shiddik. Sebaiknya jika imannya lemah maka adanya peristiwa tersebut akan dicemoohnya dan Nabi Muhammad SAW yang mengalaminya akan dituduh sebagai orang yang kurang waras, sebagaimana hal yang demikian itu diperlihatkan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab, serta orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh SWT. Karena masalah Isra’ Mi’raj sebagaimana dikutip diatas, dimulai dengan kata-kata Subhana yang berarti Maha Suci, para ahli tafsir pada umumnya berpendapat bahwa jika suatu peristiwa tersebut didahului oleh kata Subhanallah, menunjukan bahwa peristiwa tersebut hanya dapat dilakukan oleh Alloh SWT.

Hal ini dapat diumpamakan dengan seseorang yang berada di sebuah taman atau kebun yang di dalamnya terdapat beraneka ragam buah-buahan, ada yang rasanya manis, asam, pahit dan sebagainya. Selanjutnya jika dipikirkan secara seksama, tampak bahwa buah-buahan tersebut ditanam di tempat yang sama dan di bumi yang sama, tetapi mengapa cita rasanya berbeda-beda. Dapatkah manusia menciptakan aneka ragam rasa buah-buahan? Jawabnya sudah pasti “tidak”.

Dalam hubungan ini ketika menyaksikan itu semua kita seharusnya berkata Subhanallah = Mahasuci Alloh yang telah menciptakan itu semua. Belum lagi jika kita perhatikan alam raya sekitar seperti bulan, bintang, matahari, lautan, angin, binatang, dan manusia akan tampak bahwa didalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan Alloh yang tidak mungkin manusia dapat menciptakannya, melainkan hanya dapat memanfaatkannya. Untuk dapat memanfaatkan semua ciptaan Alloh itu, manusia perlu melakukan penelitian secara seksama, dan hasil penelitian itu akan menghasilkan berbagai temuan yang apabila disusun menurut metode ilmiah, makan akan menghasilkan ilmu pengetahuan atau apa yang dikenal dengan istilah sains.

Dengan demikian, sains itu pada hakikatnya adalah merupakan teorisasi dari fakta-fakta dan gejala-gejala alam yang didalamnya terdapat kekuasaan Alloh. Dalam hubungan ini, sains dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari bingkai dan keimanan kepada Alloh SWT. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki tentang alam ciptaan Alloh, maka semakin bertambah pula keimanan seseorang dan semakin dekat dan bertakwa kepada Alloh SWT. Dalam hubungan ini, al-Qur’an surat Bani Israil menegaskan :
Surat al-Fathir 35:28
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)
Artinya : Bahwa sesungguhnya yang paling takut (bertakwa) kepada Alloh, dari hamba-hamba Alloh adalah para ulama.

Pengertian ulama sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut tidak terbatas kepada orang-orang yang mendalam pengetahuannya dalam bidang agama saja, sebagaimana yang dipahami sekarang ini, melainkan juga orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan umum atau sains lainnya. Untuk lebih meningkatkan keimanan tersebut maka di dalam al-Quran banyak sekali dijumpain ayat-ayat yang mendorong manusia agar memperhatikan alam raya dan sekitarnya. Misalnya ayat yang berbunyi :
Surat al-Ghasyiyah 88:17-20
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (١٧)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (١٨)وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (١٩)وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (٢٠)
 Artinya : Mengapa mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan dan bagaiman langit ditinggikan, gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan.
Surat al-Zariyat 51:21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ (٢١)
Artinya : Dan terhadap dirimu sekalian, mengapa kamu tidak merenungkannya.
Dengan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu hikmah dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Alloh SWT dengan cara memperhatikan alam ciptaan-Nya, termasuk di dalamnya ciptaan Alloh atau yang diadakan oleh Alloh, yaitu tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.

2.    Peristiwa Isra’ Mi’raj mengingatkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu efisien dengan hasil yang lebih besar. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada waktu malam. Para ulama tafsir pada umumnya mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi hanya dalam tempo yang amat singkar, sekejap mata, yakni hanya bagian kecil dari waktu malam. Hal ini selain menunjukkan kekuasaan Alloh, juga mengingatkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu efisien. Selain itu, hal tersebut juga mengingatkan tentangnya memanfaatkan waktu malam untuk beribadah kepada Alloh SWT.

Diketahui bahwa pada umumnya manusia menggunakan waktu malam untuk beristirahat di rumah, melepaskan diri dari beban kerja yang melelahkan sepanjang hari yang banyaj memeras tenaga dan otak dan terkadang kurang melibatkan hati sanubari. Dalam keadaan demikian, waktu malam memungkinkan seseorang memiliki waktu untuk merenung dan mengevaluasi hasil kerjanya di waktu siang, bertafakur, dan munajat kepada Alloh SWT. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu malam itulah hati sanubari lebih jernih.

Hati yang jernih ini merupakan alat komunikasi dengan Alloh SWT menyuruh manusia menggunakan sebagian dari waktu malamnya untuk bertahajjud (shalat tahajjud), sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
Surat al-Isra 17:79
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (٧٩)
Artinya : Dan dari sebagian waktu malam, hendaknya engkau bertahajjud. Mudah-mudahan Alloh akan mengangkatmu pada derajat yang terpuji.

Pemanfaatan waktu malam pada umumnya telah banyak dilakukan oleh hamba-hamba Alloh yang saleh seperti para wali, para ulama, para sufi, dan lainnya yang senantiasa mengharapkan kedekatan dirinya kepada Alloh. Orang-orang yang menggunakan waktu malam untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Alloh, dinyatakan di dalam hadits Rasululloh sebagai salah seorang yang akan mendapatkan perlindungan Alloh di hari kiamat. Dalam hubungan ini Rasululloh SAW mengingatkan :

“Tujuh golongan akan dinaungi Alloh dibawah lindungan-Nya, diwaktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya : Imam (Kepala Pemerintah) yang adil, pemuda yang mempergunakan masa mudanya untuk menyembah Alloh, seseorang yang hatinya tergantung di mesjid mulai dia keluar dari mesjid sampai dia kembali ke mesjid, dua orang berkasih sayang karena Alloh lalu keduanya berkumpul karena Alloh dan berpisah karena Alloh, seseorang yang mengingati Alloh ketika sendirian lalu menetes air matanya, seseorang laki-laki yang dirayu oleh seorang perempuan yang bangsawan dan rupawan lalu dia menjawab “Sesungguhnya aku takut karena Alloh, Tuhan semesta alam” dan seseorang yang bersedekah dengan sedekahnya lalu disembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkannya oleh tangan kanannya.

Pemanfaatan waktu secara efisien dan efektif dirasakan semakin penting, terutama di zaman modern seperti sekarang ini yang ditandai oleh tingkat kompetisi yang tinggi, penuh dinamika dan persaingan. Orang-orang yang sukses dalam berkompetisi di zaman modern ini, adalah orang-orang yang pandai memanfaatkan waktunya dengan baik.

Bahkan di negara yang sudah maju seperti Amerika, Kanada, Jepangm dan sebagainya upah kerja seseorang dinilai dari banyaknya waktu yang dipergunakan. Satu jam kerja misalnya dinilai sekian dolar dan seterusnya. Dalam hubungan ini Alloh mengingatkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu, hingga Alloh menghubungkan salah satu sumpahnya dalam al-Qur’an dengan waktu.

Dan para ulama ahli tafsir pada umumnya sepakat, bahwa sesuatu yang dipergunakan dan dihubungkan dengan sumpah Alloh menunjukan bahwa sesuatu tersebut amat penting.
Dalam hubungan ini kita diperhatikan ayat-ayat sebagai berikut :
Surat al-Lail 92:1-2
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى (١)وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى (٢)
Artinya : Demi waktu malam apabila telah gelap gulita, dan demi waktu siang apabila telah terang benderang.

Surat al-Ashr 103:1-3
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)

Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat tentang kebenaran dan berwasiat tentang kesabaran.

Pada ayat tersebut Alloh menggunakan waktu malam, siang, langit, bumi, dan waktu pada umumnya sebagai alat untuk bersumpah. Hal ini menunjukan bahwa masalah-masalah tersebut sangat penting bagi kehidupan manusia.

Dalam hubungan ini banyak kita jumpai orang yang menyesal di masa tuanya, karena hidup menderita dan diremehkan orang yang disebabkan karena pada masa mudanya orang tersebut tidak dapat memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang berguna bagi masa depan dirinya seperti penggunaan waktu untuk menimba ilmu, menambah pengalaman, menguasai keterampilan, memperbanyak hubungan, menyiapkan bekal harta dan sebagainya. Sebaliknya banyak pula orang yang dimasa dewasa dan tua hidupnya sejahtera lahir dan batin, karena masa mudanya digunakan untuk hal-hal positif sebagaimana telah disebutkan diatas. Ia misalnya pergi merantau ke luar negeri bertahun-tahun untuk menimba ilmu, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Setelah pulang ke tanah air, ia segera mendapatkan tempat dan kedudukan yang layak sesuai dengan bekal dan kemampuan yang dimilikinya.

Tentang pentingnya memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang positif ini merupakan salah satu hikmah dan pelajaran dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang patut direnungkan secara seksama, mengingat banyak sekali umat Islam yang belum dapat memanfaatkan waktunya dengan baik, sehingga mereka tertinggal dan terbelakang dalam segala bidang dibandingkan umat lainnya.

3.    Peringatan Isra Mi’raj mengingatkan kita tentang pentingnya memiliki mesjid sebagai sarana pembinaan kepribadian muslim yang berakhlak mulia, serta aktifitas lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini mesjid dapat berperan sebagai laboratorium iman,yaitu tempat untuk mengukur dan sekaligus meningkatkan keimanan seseorang. Di mesjid itulah manusia menyebut nama Alloh, melakukan shalat, dzikir, bersilahturahmi dengan saudaranya sesama muslim, berdiskusi tentang berbagai masalah kehidupan yang dialami serta berupaya mencarikan pemecahannya.

Mesjid merupakan sarana pembinaan umat dalam arti yang luas yang memiliki nilai amat strategis. Atas dasar ini tidaklah mengherankan bahwa upaya membangun umat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berada di Madinah dan diakui keberhasilannya oleh dunia, adalah dimulai dengan membangun mesjid di Quba yang selanjutnya dalam sejarah Islam dikenal dengan nama mesjid Quba. Di tempat inilah Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya melakukan berbagai aktifitas dan merancang masa depan umat.

Hikmah Isra Mi’raj yang berkenaan dengan penggunaan mesjid untuk berbagai aktifitas sebagaimana disebutkan di atas patut kita renungkan. Mengingat banyak sekali mesjid yang dibangun oleh masyarakat Islam di Indonesia, tetapi kurang difungsikan dengan sebaik-baiknya. Mesjid yang dibangun dengan biaya milyaran rupiah misalnya hanya digunakan untuk shalat lima waktu.

Di luar shalat lima waktu, mesjid-mesjid tersebut dikunci dan tidak digunakan untuk aktifitas guna memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat. Sedangkan disamping mesjid-mesjid yang dibangun tersebut terbentang masalah yang amat luas seperti masalah kerusakan moral, kenakalan remaja, kemiskinan, kebodohan, perpecahan umat, dan lain sebagainya.

Semua masalah tersebut sebenarnya dapat dipecahkan dengan melibatkan seluruh potensi yang dimiliki jama’ah mesjid tersebut. Untuk itu perlu dipikirkan tentang perlunya mengembangkan konsep mesjid terpadu, yaitu mesjid yang tidak hanya melayani kebutuhan spiritual jama’ah, melainkan juga kebutuhan lainnya sepanjang relevan untuk dilakukan oleh mesjid, seperti mendirikan koperasi, poliklinik, taman bacaan (perpustakaan), taman pendidikan, latihan keterampilan, dan lain sebagainya.

Konsep mesjid yang demikian itu belum banyak diketahui masyarakat. Padahal sekali lagi dikatakan, bahwa mesjid merupakan sarana yang srategis dan potensial untuk diberdayakan bagi pembinaan umat. Kita bisa mencatat jumlah mesjid yang ada di DKI Jakarta saja lebih dari 3.000 buah, belum lagi ditambah dengan mesjid kecil (mushala). Jumlah tersebut dapat ditambah lagi, jika kita memperhatikan tentang jumlah mesjid yang tersebar di daerah-daerah mayoritas beragama Islam seperti Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagainya.

Peran dan fungsi mesjid yang demikian belum banyak dilakukan masyarakat, bahkan juga di negara lain. Pada masa kekuasaan Muhammad Ali di Mesir misalnya, ia melaranga pembangunan mesjid dan ia lebih mendorong pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Alasannya, karena jumlah mesjid yang dibangun sudah terlalu banyak, sedangkan pemanfaatannya hanya sedikit, yaitu hanya untuk melaksanan shalat lima waktu. Di luar shalat lima waktu mesjid dikunci rapat. Padahal mesjid yang dibangun tersebut telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Berkenaan dengan itu maka pada setiap kali diadakan peringatan Isra Mi’raj harus digunakan sebagai momentum untuk mengevaluasi tentang peran dan fungsi mesjid dalam kerangka pemberdayaan umat, dan sekaligus mencarikan upaya-upaya pemecahan yang berkaitan dengan peran dan fungsi mesjid tersebut.

4.    Bahwa peringatan Isra Mi’raj mengingatkan pentingnya melakukan studi perbandingan, terhadap berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan barakna haulah (Yang Kami berkahi disekilingnya) yang terdapat pada potongan ayat pertama surat Bani Israil. Yang dimaksud dengan sekelilingnya yang diberkahi Alloh, adalah tempat-tempat dimana wahyu Alloh pernah diturunkan, dan di tempat itu pula pernah dilakukan upaya pembinaan umat dan mencapai kemajuan-kemajuan. Tempat-tempat tersebut adalah Yasrib (sekarang Madinah), Baitulah (tempat dilahirkannya Nabi Isa), Thurisinai (Bukit Sinai) tempat dimana Nabi Musa menerima wahyu dari Alloh, Madyan (tempat dimana Nabi Shuaeb melakukan dakwah), dan tempat bersejarah lainnya. tempat-tempat tersebut dikunjungi Nabi pada waktu melakukan studi banding.

Hal ini mengingatkan pentingnya melakukan studi banding dan menimba pengalaman dari kemajuan-kemajuan yang pernah dicapai bangsa lain, sebagai bahan renungan dan masukan untuk dilihat kemungkinan penerapannya bagi pembangunan selanjutnya. Atas dasar itulah tidak mengherankan Nabi Muhammad SAW memiliki seluruh keunggulan yang dimiliki para Nabi lainnya, Nabi Muhammad memiliki kesabaran sebagaimana halnya Nabi Ayub, ketampanan lahir batin sebagaimana Nabi Yusuf, kegagahan sebagaimana halnya kegagahan Nabi Musa, kasih sayang sebagaimana halnya kasih sayang Nabi Isa, bahkan kerajaan dan kekuasaan sebagaimana halnya kekuasaan Nabi Sulaiman. Semua ini terjadi karena adanya kemauan untuk menimba pengalaman. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya agar menuntut ilmu, dan jika perlu sampai ke negeri Cina.

Hal ini sejalan dengan perintah Alloh dalam ayatnya yang berbunyi :
Surat al-Rum 30:9
أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الأرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (٩)

Artinya : mengapa mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi, dan melihat bagaiman akibat (kemajuan dan kejatuhan) yang pernah dicapai oleh orang-orang sebelum mereka. Mereka itu memiliki kekuatan yang dahsyat, pernah membangun dan memakmurkan bumi lebih dari apa yang dicapai. Kemudian para utusan Alloh darang kepada mereka dengan membawa keterangan, namun mereka mendustakannya, kemudia Alloh menimpakan bencana kepada mereka disebabkan karena perbuatan mereka sendiri.

Perintah dan semangat yang terdapat dalam ayat tersebut, merupakan bagian yang perlu direnungkan pada setiap kali memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Hal yang demikian amat penting dilakukan, mengingat pada masa kini, dunia Islam masih memiliki kelemahan dan keterbelakangan baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan umat Islam kurang diperhitungkan orang, tidak disegani, bahkan dibuat bergantung kepada bangsa-bangsa lain bergantung kepada bangsa-bangsa lain telah maju, seperti Amerika, Jepang, dan lain-lain.

Mengapa kita tidak mau menimba dari kemajuan-kemajuan yang mereka capai, sebagaimana halnya mereka telah mengambil dan menimba pengetahuan dan pengalaman umat Islam yang terjadi di abad klasik melalui pusat-pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang ada di Spanyol, Baghdad, Mesir, dan lain-lain. Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam rangka menimba pengalaman dan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Barat tersebut harus waspada dan hati-hati, karena tidak semua yang berasal dari Barat dan Eropa itu baik, terutama dari segi kebudayaan dan pola hidupnya yang materialistis, hedonistis, dan sekuler.

Program studi ke negara-negara tersebut seharusnya diberikan kepada mereka yang telah terbentuk kepribadian muslimnya dengan baik. Sebab jika tidak demikian, mereka yang dikirim tugas belajar bisa rusak mentalnya, murtad, dan jauh dari agama sebagaimana hal yang demikian itu terjadi pada lapisan masyarakat tertentu. Mereka telah berubah gaya dan pola hidupnya dengan pola dan gaya hidup yang kebarat-baratan yang materialistis, hedonistis, sekuler, dan sebagainya yang mengambil bentuk menghalalkan segala cara dalam hal berpakaian, makan, minum, bergaul dan sebagainya.

5.    Bahwa peristiwa Isra Mi’raj juga mengingatkan tentang pentingnya shalat lima waktu sebagai sarana komunikasi dan berhubungan secara rohaniah yang paling efektif dengan Alloh. Dan hasil dari shalat ini antara lain terjadinya kesalehan individual seperti jujur, ikhlas, sabar, tawakal, dan sebagainya. Serta kesalehan sosial dalam bentuk kemampuan mencegah dari perbuatan keji dan munkar, mau memperdulikan nasib orang lain yang kurang beruntung dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa perintah shalat diberikan Alloh SWT kepada Nabi Muhammad dan umat pada waktu Isra Mi’raj. Perintah shalat pada mulanya sebanyak lima puluh waktu, kemudian dikurangi menjadi lima waktu sebagaimana halnya dikerjakan saat ini. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya:

Alloh mewajibkan kepada umatku pada malam Isra’ sebanyak lima puluh waktu shalat, kemudian aku tidak henti-hentinya memohon keringanan dari Alloh, hingga Alloh merubahnya menjadi lima waktu untuk sehari semalam.

Dengan demikian, shalat merupakan ibadah yang memiliki kedudukan tinggi dibandingkan dengan ibadah lainnya dalam Islam, karena dari segi penerimaannya langsung dari Alloh SWT tanpa melalui malaikat Jibril, sebagaimana halnya perintah-perintah ibadah lainnya. Hal yang demikian bisa dimaklumi mengingat betapa besarnya hikmah dan makna shalat bagi kehidupan, sebagaimana telah banyak kita baca dalam uraian yang dikemukakan para ahli agama dan lain-lain.

Dan atas dasar ini pula tidak mengherankan jika Nabi Muhammad SAW menempatkan shalat sebagai indikator yang membedakan antara seorang muslim dengan non muslim (al-farqu bain al-Muslim wa al-Kafir al-shalat). Nabi juga menempatkan shalat merupakan tiang agama (al-shalatu imad al-din faman aqamaha faqad aqama al-din waman tarakaha faqad badam al-din = shalat tiang agama dan barangsiapa yang meninggalkannya maka berarti ia telah meruntuhkan agama). Lebih lanjut dinyatakan Nabi Muhammad SAW bahwa shalat adalah merupakan mi’rajnya kaum muslimin, yaitu sarana yang membawa manusia dekat dan berdialog secara rohaniah langsung dengan Alloh.

Dalam shalatnya manusia memohon perlindungan dan sebagainya dari Alloh, dan menyerahkan hidup, mati, perjuangan, dan sebagainya ke dalam bimbingan Alloh. Dan shalat menjadi pertanyaan yang akan diajukan pada saat manusia diperhitungkan amalnya di hadapan Alloh di akhirat. Jika shalatnya baik maka amal ibadah yang lain juga baik pula. Dengan mengingat hikmah shalat yang dicapai melalui peringatan Isra Mi’raj ini, maka kewajiban bagi kita untuk mengajarkan saudara kita seagama agar dapat melaksanakan shalat, bahkan khusus bagi orang tua (ayah-ibu) wajib hukumnya mengajar dan mendidik anak-anaknya agar dapat melaksanakan shalat dengan baik, yaitu dimulai dari usia 7 tahun, sehingga pada saatnya datang kewajiban shalat yaitu usia baligh anak tersebut sudah terampil mengerjakan shalat, bahkan sudah mulai mendarah daging, sehingga shalat tersebut dapat dengan mudah dan ringan untuk dikerjakan.

6.    Bahwa peristiwa Isra Mi’raj mengingatkan kepada kita tentang perlindungan Alloh terhadap hamba-hamba yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Hal ini dapat dipahami dari kalimar Innahu Huwa al-Sami’ al-Bashir (Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar dan Melihat). Kalimat yang terdapat pada potongan ayat pertama Bani Israil tersebut mengingatkan, bahwa peristiwa Isra Mi’raj yang demikian itu dipastikan, sulit diteriman oleh oran-orang yang hanya mengandalkan akal dan berpandangan materialistis belaka. Peristiwa Isra Mi’raj hanya dapat diterima oleh orang-orang yang memiliki keimanan kepada Alloh. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Nabi Muhammad SAW mendapatkan ejekan, cemohan, bahkan tuduhan kurang waras dari orang-orang kafir Quraish, ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan pengalaman Isra’ Mi’rajnya itu. Ejekan, cemohan dan hinaan yang ditimpakan kepada Nabi Muhammad SAW didengar dan diperhatikan oleh Alloh SWT, sebagaimana tertulis di potongan ayat tersebut. Alloh melakukan pembelaan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Najm sebagai berikut :
Surat An-Najm 53:1-17

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (١)مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢)وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (٥)ذُو مِرَّة فَاسْتَوَى (٦)وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (٧)ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (٨)فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (٩)فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (١٠)مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى (١١)أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (١٢)وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣)عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤)عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥)إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦)مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (١٧)

Artinya : Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas ; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Alloh wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrik Mekah) hendak membatahnya tentang apa yang dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surge tempat tinggal (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya.

Adanya pembelaan Alloh terhadap kebenaran Nabi Muhammad SAW yang mendapatkan ejekan dari kaum musyrikin Quraish tersebut kiranya patut menjadi bahan renungan bagi kita, bahwa pembelaan dan pertolongan Alloh juga berlaku bagi hamba-hamba-Nya yang lain, sebagaimana halnya orang-orang yang beriman dengan syarat ia telah menunjukan kepatuhan dan ketaatan yang total kepada Alloh SWT.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa hikmah Isra Mi’raj pada intinya, adalah tentang pentingnya mencapai kemajuan dan ketinggian secara seimbang antara dunia dan akhirat. Isra Mi’raj menggambarkan tingkat kehidupan yang ideal atau Insan Kamil.

Hal ini sejalan dengan analisis Prof.Dr.H.M.Quraish Shihab yang melihat urutan surat Bani Israil yang berbicara tentang Isra Mi’raj berada pada urutan ke 17. Sedangkan urutan surat 16, yaitu surat al-Nahl, menggambarkan tingkat kehidupan yang idela yang dicapai oleh al-Nahl (lebah) baik dari cara makan, bergaul, bermasyarakat, member manfaat, dan sebagainya. Lebah makan sari buah yang bersih dan jernih, kompak dalam bergaul dengan sesamanya, tidak mengganggu tanaman dan merusaknya ketika ia hinggap, bertempat tinggal di tempat yang tinggi dengan bentuk sarangnya yang unik dan steril dari populasi kotoran dan ia mengeluarkan madu dari perutnya dan sebagainya. Semua itu menggambarkan sebuah pola kehidupan yang ideal. Hal yang demikian menjadi prasyarat untuk mencapai kemajuan dan ketinggian sebagaimana yang ditunjukan dalam surat ke 17 (Bani Israil) dan diperlihatkan dalam bentuk Isra Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Hikmah kemajuan dan ketinggian umat Islam inilah yang harus direalisasikan dalam kehidupan, dengan syarat memiliki iman yang kokoh, mampu memanfaatkan waktu dengan baik, mendayagunakan sarana yang strategis seperti halnya mesjid, selalu menimba pengalaman orang lain yang telah maju dengan penuh kehati-hatian, senantiasa menjalin hubungan vertical dengan Alloh melalui shalat lima waktu yang dilaksanakan dengan penuh pengabdian dan kekhusyukan serta dengan meyakin, bahwa setiap perjuangan yang baik pasti akan mendapatkan pertolongan dari Alloh. Dengan modal hikmah Isra’ Mi’raj inilah kita akan meraih kemajuan.

Uraian diatas melihat peristiwa Isra’ Mi’raj khusus dari segi hikmah dan pesan spiritualnya, karena itulah yang menjadi fokus utama penulisan ini. Sedangkan dibalik itu sesungguhnya masih banyak masalah yang hingga saat ini menjadi bahan perdebatan yang belum tuntas di sekitar peristiwa Isra’ Mi’raj, misalnya perdebatan Buraq yang digunakan Nabi pada waktu Isra Mi’raj, persoalan dibelahnya dada Nabi dengan fisik dan rohani. Peristiwa Isra Mi’raj terjadi, persoalan Nabi shalat berjama’ah dengan para Nabi, padahal perintah shalat belum datang.

Persoalan apakah Isra Mi’raj berbarengan waktunya atau terpisah? Apa yang dimaksud dengan kata-kata barakna haulahu (yang diberkahi sekelilingnya) yang terdapat pada ayat pertama surat Bani Israil yang telah disinggung diatas? Tempat mana saja yang diberkahi itu? Apakah makna dialog Nabi dengan para Nabi yang telah meninggal? Dimanakah Sidratul Muntaha itu? Apa makna tujuh lapis langit yang dilewati Nabi? Dan masih banyak lagi pertanyaan menyertai Isra Mi’raj ini. Untuk menjawab persoalan tersebut bukan di sini tempatnya.

Untuk itu kepada kalangan peneliti, setingkat calon doktor budang studi Islam misalnya, sehingga masalahnya menjadi jelas. Kajian semacam ini belum dilakukan oleh sarjana Muslim. Sedangkan dari non Muslim telah dilakukan oleh Dante dalam bukunya yang berjudul the Diving Comedy sebanyak tiga jilid yang berisi dari seribu halaman yang di dalamnya banyak uraian bernada miring, menodai kesucian Islam, dan merendahkan martabat Nabi Muhammad SAW. Buku ini diimbangi dengan buku yang ditulis oleh sarjana Muslim dengan merujuk pada al-Qur’an, Hadits, serta fakta-fakta sejarah yang obyektif.
Dengan melaksanakan hikmah dan pesan spiritual Isra’ Mi’raj dan menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan Isra’ Mi’raj, maka di samping kita memiliki bekal mental spiritual yang kokoh, juga akan memiliki pandangan yang benar dan tepat tentang Isra’ Mi’raj tersebut.

Posting Komentar untuk "Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Isra Miraj"