Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Spiritual Hari Raya Idul Adha

Pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah kaum muslimin merayakan Idul Adha yang secara harfiah berarti Hari Raya Kurban, karena hari raya tersebut ditandai dengan melaksanakan penyembilan hewan kurban yang dilakukan setelah melaksanakan shalat sunah dua rakaat sampai dengan akhir tanggal 13 Dzulhijjah dan menyembih hewan kurban. Pelaksanaan ibadah hari raya Idul Adha tersebut didasarkan pada firman Alloh SWT.

Surat al-Kautsar 108:1-3
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (١)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.

Selanjutnya kita ingin agar pelaksanaan shalat sunat Idul Adha, ibadah haji dank urban yang dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah, tidak hanya terhenti pada sekedar seremoniah atau mendapatkan pahala di akhirat saja, tetapi ingin pula agar member manfaat bagi kehidupan umat manusia di dunia. Berkenaan dengan itu maka pada bagian ini kita akan mencoba mengkaji makna dan pesan spiritual yang terkandung dalam ibadh haji dan ibadah kurban dengan menganalis ayat-ayat al-Qur’an dan hadits serta pendapat para ulama.

Pendidikan Spiritual Hari Raya Idul Adha

Makna Ibadah Haji

Pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh pengikut atau umat Nabi Muhammad SAW saat ini, adalah merupakan lanjutan dari syari’at yang dilaksanakan pada zaman Nabi Ibrahim as yang tentu saja disempurnakan dalam syari’at ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Berkenaan dengan ini al-Qur’an menginformasikan sebagai berikut :
Surat al-Baqarah 2:127
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٢٧)
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Isma’il (seraya berdoa) : “Ya Tuhan kami terimalah daripada kamu (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat tersebut sejalan pula dengan ayat yang berbunyi :
Surat al-Haji 22:26-28
وَإِذْ بَوَّأْنَا لإبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (٢٦)وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨)
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan) : Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dangan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Alloh, pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Alloh telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara) lagi fakir.

Selanjutnya di dalam hadits dinyatakan bahwa ibadah haji termasuk rukun Islam kelima, sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang berbunyi :
Hadits H.R.Bukhari dan Muslim
Artinya : Islam didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Nabi Muhammad sebagai utusan Alloh, mendirikan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan.

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ibadah haji merupakan salah satu syariat Islam yang kedudukannya amat kuat, dalam arti didukung oleh dalil-dalil yang jelas dan tidak mungkin untuk disangkal keberadaannya.

Dilihat dari pelaksanaannya ibadah haji dimulai dengan mengenakan pakaian ihram (pakaian putih berjahit) pada tanggal 8 Dzulhijjah, kemudian pergi ke Arafah suatu lokasi yang berada di sebelah selatan kota Mekah (Baitullah) yang jaraknya kira-kira 16 kilometer. Pada tanggal 9 Dzulhijjah setelah tergelincir matahari kearah Barat dimulai pelaksanaan wukuf, yakni berdiam diri di Arafah sambil membaca doa dan dzikir dan dimulai dengan khutbah wukuf. Selanjutnya setelah matahari terbenam pada tanggal 9 Dzulhijjah, para jama’ah berangkat menuju Mina yang jaraknya kira-kira 7 kilometer sambil mengambil batu kerikil untuk digunakan pada saat melontar Jumrah. Pada tanggal 10 Dzulhijjah, para jama’ah sudah berada di Mina, selanjutnya melontar Jumrah Aqabah pada tempat yang telah ditentukan sebanyak 7 lontaran kemudian melakukan tahalul, yakni mencukur paling kurang tiga helai rambut, dan dengan demikian jama’ah sudah dibolehkan mengenakan pakaian biasa. Kemudian pada tanggal 11 Dzulhijjah dilakukan pelemparan Jumrah Ula, Jumratul Wushtha, dan Jumratul Aqabah masing-masing tujuh kali. Setelah itu pada tanggal 12 para jama’ah melakukan pelontaran sebagaimana pelontaran pada tanggal 11 Dzulhijjah. Bagi jama’ah yang mengambil nafar awal boleh meninggalkna Mina menuju Mekah (Baitullah) untuk melakukan thawaf ibadah dan sa’i serta meminum air zam-zam, berdoa dan sebagainya. Sedangkan bagi jama’ah yang mengambil nafar Tsani baru dibolehkan meninggalkan Mina menuju Mekah dan melakukan amalan sebagaimana jama’ah nafar awal pada tanggal 13 Dzulhijjah.

Jika diperhatikan secara seksama tampak bahwa ibadah haji secara keseluruhan mengambil bentuk fisik, dan dilakukan terlihat seperti anak-anak yang sedang bermain-main. Berwukuf di padang Arafah tampak seperti pelajar atau mahasisea yang sedang berkemah. Kemudian melontar Jumrah seperti anak-anak yang sedang bermain lempar-lemparan, dan melakukan thawaf seperti anak-anak yang bermain ular-ularan, dan melakukan sa’i seperti anak-anak yang sedang bermain lari-lari, dan sebagainya. Namun di balik pelaksanaan ibadah yang kelihatannya bermain-main dan amat melelahkan itu terdapat hikmah dan pesan ajaran spiritual yang sangat tinggi serta agung.

Mengenai pakaian serba putih yakni pakaian ihram, menggambarkan bahwa ibadah haji harus disertai niat semata-mata karena Alloh, bukan untuk tujuan pamer, status sosial dan sebagainya. Pentingnya niat karena Alloh inilah yang menandai diterimanya ibadah tersebut oleh Alloh SWT. Hal ini sejalan dengan firman Alloh SWT :

Surat al-Baqarah 2:196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (١٩٦)
artinya : Dan sempurkanlah ibadah haji dan umrah karena Alloh.

Surat al-An’am 6:162
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢)
Artinya : Sesungguhnya shalatku, ibadah hajiku, hidup dan matiku hanya karena Alloh Penguasa sekalian alam.

Pentingnya niat karena Alloh dalam ibadah haji ini penting sekali karena ibadah haji memerlukan pengorbanan harta, tenaga, pikiran, waktu dan sebagainya yang demikian besar. Hal ini amat sulit dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki keikhlasan kepada Alloh SWT.

Pakaian serba putih tersebut juga menggambarkan akan pentingnya kesederhanaan dalam hidup dan sekaligus untuk menghilangkan rasa sombong dan tinggi diri yang disebabkan karena pakaian. Diketahui bahwa pakaian mengandung pengaruh psikologis bagi orang yang memakainya. Seseorang yang mengenakan pakaian pengantin, misalnya merasa dirinya paling cantik. Demikian pula seseorang yang mengenakan pakaian militer merasa dirinya sebagai jagoan. Kemudian seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran kerajaan merasa dirinya yang paling berkuasa dan demikian seterusnya. Perasaan-perasaan psikologis yang ditimbulkan akibat berpakaian tersebut harus ditanggalkan pada saat melaksanakan ibadah haji, karena dapat mengganggu hubungan dengan Alloh SWT.

Dengan dilatih berpakaian secara sederhana tersebut diharapkan mereka akan memiliki sikap yang sama dalam memandang orang lain dan memperlakukannya secara manusiawi, dan selanjutnya dapat mengenal antara satu dan lainnya.

Dalam hubungan ini Alloh SWT mengingatkan dalam firman-Nya yang berbunyi :
Surat al-Hujurat 49:13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Artinya : Hal sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah ciptakan kamu sekalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Alloh adalah orang yang paling bertakwa (kepada Alloh), diantara kamu sekalian.

Anjuran untuk saling mengenal dalam ayat tersebut dalam hubungannya dengan ibadah haji, adalah amat tepat karena pada saat ibadah haji berkumpul jutaan manusia yang memiliki latar belakang bahasa, warna kulit, kebudayaan, adat istiadat, dan lainnya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan jangan sampai mengganggu atau menjadi hambatan dalam berkomunikasi dan saling mengenal. Dengan demikian, saling mengenal tersebut juga dapat dikembangkan untuk mengenal berbagai latar belakang perbedaan yang selanjutnya membawa rasa insaf dan sadar akan kekuasaan Alloh SWT.

Selanjutnya pelaksanaan wukuf di Arafah yang merupakan inti dari ibadah haji, disamping harus dilihat sebagai momentum untuk saling mengenal sesama manusia juga untuk mengenal Alloh SWT melalui hati sanubari yang tulus ikhlas. Hal ini sejalan dengan makna ‘arafah itu sendiri yang secara harfiah berarti mengenal lebih dalam. Demikian pentingnya makna wukuf di Arafah dalam upaya mengenal sesame umat manusia dan mengenal Alloh, hingga Nabi Muhammad SAW menjadikan wukuf di Arafah sebagai inti ibadah haji dan bagi orang yang tiak melaksanakan wukuf tidak sah hajinya dan tidak pula dapat menyandang gelar sebagai haji. Nabi Muhammad SAW mengingatkan sebagai berikut :
Hadits H.R. Lima orang ahli hadits

Artinya : “Bahwa orang-orang Najd telah datang kepada Rasululloh SAW. Sewaktu beliau sedang wukuf di Padang Arafah. Mereka bertanya kepada beliau, maka beliau terus menyuruh orang supaya mengumumkan : Haji itu Arafah. Artinya, yang terpenting urusan haji ialah hadir di Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam sepuluh sebelum terbit fajar, sesungguhnya ia telah mendapat waktu yang sah.

Wukuf di Padang Arafah juga mengingatkan, bahwa pada suatu saat manusia akan dikumpulkan oleh Alloh SWT di Padang Mahsyar, untuk selanjutnya diperiksa dan ditimbang amal ibadahnya dan diputuskan apakah ia akan dimasukkan ke dalam surge atau neraka.

Dalam pada itu melontar Jumrah dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, mengandung arti perjuangan keras untuk membuang jauh-jauh perasaan buruk yang ada di dalam diri manusia, serta sifat-sifat buruk tersebut untuk diganti dengan sifat yang baik, sehingga setelah melaksanakan ibadah haji terjadi perubahan akhlk dari yang kurang baik pada keadaan yang baik. Mereka yang biasanya kasar, bengis, dendam, kikir, korup, malas, beribadah, dan sebagainya berubah menjadi orang yang memiliki sifat lembut, kasih sayang, pemaaf, dermawan, rajin beribadah, dan sebagainya. Perubahan-perubahan pada segi akhlak inilah yang selanjutnya menandai kemabruran ibadah haji seseorang. Dalam hadits dinyatakan sebagai berikut :

Hadits H.R. Bukhari Muslim
Artinya : Haji yang mabrur tidak ada balasan lain baginya kecuali surge
 
Iman al-Kahlani dalam kitabnya Subul al-Salam menyatakan bahwa yang dimaksud dengan haji yang mabrur, adalah haji yang berimplikasi pada perbaikan akhlak ke arah yang lebih baik. Sedangkan Mahmud Syaltout, Guru Besar Al-Azhar mengatakan bahwa haji mabrur, adalah haji yang tidak dicampuri dengan perbuatan dosa dan maksiat.

Berikutnya pelaksanaan thawaf dengan cara mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali putaran mengandung arti, bahwa kehidupan yang dilakukan oleh manusia harus bermuara pada satu tujuan, yaitu mengharapkan keridhaan Alloh. Itulah sebabnya dalam beribadah shalat arahnya ditujukan ke Baitulloh atau Kabah. Disebut Baitulloh secara harfiah berarti Rumah Alloh, tetapi yang dimaksud adalah rumah rahmat Alloh, dan rumah tanda kekuasaan Alloh SWT. Kabah pada ayat lain dalam al-Qur’an, yakni surat al-Hajj sebagaimana disebutkan di atas disebut sebagai Baitul Atiq, yaitu Rumah Kuno karena rumah itulah yang pertama kali dibangun di atas bumi oleh Nabi Ibrahim atas perintah Alloh. Kabah atau Baitulloh yang berlambang segi empat atau kubus menggambarkan bentuk asli sebuah bangunan.

Jika diperhatikan secara seksama inti bangunan adalah segi empat, walaupun terkadang tampak arsitekturnya bermacam-macam. Hal ini menggambarkan tentang dasar fitrah manusia yang pada intinya walaupun berkaitan suku, bangsa dan bahasa adalah sama, yaitu sebagai makhluk Alloh yang memiliki kesamaan fitrah, yaitu perasaan akan adanya Alloh yang menciptakan dirinya. Perasaan fitrah itulah yang mendasari bangunan masyarakat yang dikenal dengan istilah Masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang dibangun atas dasar kemanusiaan.

Perasaan kemanusiaan itulah yang ingin ditumbuh-kembangkan melalui simbol pelaksanaan thawaf sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perasaan kemanusiaan yang demikian itu diharapkan tumbuh sikap saling menghargai, menghormati, dan memajukan di antara sesama manusia. Pesan kemanusiaan tersebut juga dapat dihubungkan dengan adanya Hijir Isma’il yang berada disekitar Kabah. Hijir Isma’il secara harfiah berarti pangkuan terhadap Isma’il. Karena pangkuan juga menggambarkan sikap kasih sayang dan rasa kemanusiaan.

Selanjutnya dengan pelaksanaan Sa’i, yaitu berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa, menggambarkan bahwa kehidupan ini harus disertai dengan dinamika dan rasa kemanusiaan.

Dalam berbagai literatur umumnya dikatakan bahwa sa’i yang dilakukan saat ibadah haji, pada mulanya atau diangkat dari peristiwa Siti Hajar yang berlari untuk mencari air bagi putranya yang masih bayi yaitu Isma’il as, hingga akhirnya Alloh menunjukan kekuasaan-Nya dengan memunculkan air zam-zam yang berada di lingkungan Kabah. Perjuangan Siti Hajar tersebut menggambarkan perjuangan seorang ibu dalam rangka menyelamatkan anaknya, atau perjuangan untuk menyelamatkan manusia. Dan berlari-lari kecil yang menggambarkan dinamika kehidupan tersebut, sejalan dengan semangat ajaran Islam yang menyuruh umatnya agar melakukan yang terbaik dari waktu ke waktu. Untuk itu bukit Safa dan Marwa dapat dipahami sebagai upaya yang baik pula. Safa secara harfiah berarti bersih, sedangkan Marwa berarti berkembang. Hal ini menunjukan bahwa perjuangan yang didasarkan pada niat yang bersih akan mendatangkan keberkahan dunia akhirat. Perlu dicatat bahwa Siti Hajar diangkat oleh Alloh menjadi ibu dari seorang Nabi. Hal ini juga menggambarkan aspek kemanusiaan yang amat tinggi nilainya.

Demikian pula melakukan tahalul yang berarti menggunting beberapa helai rambut, adalah menggambarkan tanda kesucian dan kebersihan dengan cara menjauhkan pikiran kotor yang terkadang ada dalam otak manusia. Diketahui bahwa sumber terjadinya malapetaka dan kekacauan di dalam kehidupan disebabkan karena otak dan akal pikiran yang kotor.

Dengan melihat uraian tersebut terlihat bahwa dalam ibadah haji terdapat pesan-pesan spiritual dan kemanusiaab yang sangat tinggi keimanan, nilai sosial, nilai kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya. Nilai-nilai tersebut tampak sangat komprehensif, mulai dari nilai keimanan, nilai sosial, nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai perjuangan. Nilai-nilai tersebut jika dapat diaplikasikan dalam kehidupan selanjutnya di luar ibadah haji, diyakini akan membawa dampak bagi perbaikan dunia. Itulah sebabnya Mahmud al-Istambuli, dalam Majalah Qa’yul Islami mengatakan bahwa ibadah haji merupakan sumbangan Islam terbesar dalam rangka melahirkan manusia-manusia ideal sebagaimana dicita-citakan oleh para filosof sejak dulu kala, seperti Plato, Aristoteles, Thomas Monroe, dan lain-lain.
Persolannya adalah dapatkah manusia yang melaksanakan ibadah haji tersebut mencapai tingkat manusia ideal sebagaimana digambarkan di atas? Jawabnya, bergantung kepada individu masing-masing.

Itulah sebabnya Alloh mengingatkan dalam ayatnya sebagaimana dikutip di atas. Bahwa selama mengerjakan ibadah haji seseorang harus menyaksikan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk itu ibadah haji selain harus disertai dengan pengetahuan tentang tata caranya dengan baik, juga harus memahami hikmah yang terkandung di dalamnya, dengan cara membuka hati, fikiran, perasaan, dan potensi-potensi lainnya yang dimiliki manusia.

Makna Ibadah Kurban

Sebagaimana halnya dengan ibadah haji, ibadah kurban pun berhubungan dengan syariat yang pada mulanya dibangun oleh Nabi Ibrahim as beserta putranya Isma’il as. Tentang ibadah kurban ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi sebagai berikut :

Surat al-Shaffat 37:102-111
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (١٠٦)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (١٠٨)سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١٠٩)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١١٠)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (١١١)
Artinya : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! “Ia menjawab : “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Alloh kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (Nya), (nyatanyalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggilah dia “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik), dikalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”, Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Berdasar pada informasi ayat tersebut terdapat hikmah dan pesan spiritual amat dalam yang terkandung dalam ibadah kurban. Hikmah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

1.    Bahwa Nabi Ibrahim as telah tampil sebagai seorang ayah yang amat demokratis dan terbuka untuk menerima pendapat anaknya, Isma’il as. Pada ayat tersebut Nabi Ibrahim as meminta pendapat Isma’il tentang perintah kurban yang disampaikan Alloh melalui mimpi. Di sini Nabi Ibrahim sangat memperhatikan pertimbangan kemanusiaan, sungguh pun perintah tersebut datang dari Alloh. Hal ini hendaknya menjadi catatan bagi para orang tua dalam melaksanakan berbagai perintah dan kesempatan kepada putra-putrinya ketika akan memutuskan kebijakan yang amat berpengaruh terhadap masa depan anak-anaknya.

Dengan kata lain, tidak karena sebagai orang tua, ia berbuat sekehendak hatinya. Orang tua misalnya tidak dapat memaksakan pendapatnya, lebih-lebih pendapatnya itu bertentangan dengan kehendak Alloh dan kemanusiaan. Sikap menghargai pendapat anak ini juga tidak lantas diberikan tanpa kendali, sebagaimana yang diterapkan di negara-negara Barat seperti Amerika dan Kanada. Di mana negara tersebut seorang anak sangat dilindungi kebebasannya oleh undang-undang yang berlaku, sehingga seorang anak tidak segan-segan menyeret orang tuanya ke pengadilan karena perlakuan yang dinilainya merugikan anak tersebut. Di dalam Islam tidak sampai seperti itu orang tua misalnya dibolehkan memukul anaknya ketika anak tersebut tidak mau mengerjakan shalat atau melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Alloh lainnya. Namun pukulan tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan ditujukan untuk mendidik.

2.    Ibadah kurban sebagaimana dikemukakan pada ayat tersebut juga menggambarkan tentang menunjukan kepatuhan rela dikorbankan dirinya, karena semata-mata mematuhi perintah Alloh. Kesiapan Isma’il tersebut juga ditampakan dalam ungkapan yang penuh kerendahan hati, yaitu dengan mengatakan Insya Alloh saya termasuk orang-orang yang sabar. Hal ini juga hendaknya menjadi bahan renungan bagi anak-anak, para remaja dan pemuda, bahwa di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan berbagai pengaru, hendaknya kepatuhan kepada Alloh dan kepada kedua orang tua harus diutamakan, karena Alloh-lah yang telah memberikan kehidupan, melalui kasih sayang orang tuanya. Demikian pentingnya menghormati Alloh dan orang tuanya, hingga dalam al-Qur’an terdapat perintah berterima kasih kepada Alloh dan kepada kedua orang tua, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebagai berikut :
Surat Luqman 31:14
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (١٤)
Artinya : Dan Kami kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tua ibu bapanya ; ibunya telah mengandungnya dalam dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kullah kembali.

3.    Perintah kurban juga menggambarkan keberhasilan kedua orang tua, terutama seorang ibu dalam mendidik anaknya menjadi anak yang taat dan saleh. Kepatuhan Isma’il as melaksanakan perintah yang amat berat itu tidak dapat dilepaskan dari peran ibunya, Siti Hajar yang mendidiknya. Ini mengingatkan tentang pentingnya peranan ibu dalam mendidik anak. Hal yang demikian juga dapat dimaklumi karena pada tahap permulaan seorang anak banyak bergaul dengan ibunya, sehingga tingkah laku ibunya sangat berpengaruh terhadap anaknya. Untuk itu seorang ibu harus menunjukkan keteladanan yang tinggi di hadapan anak-anaknya.

Untuk menghasilkan ibu yang demikian itu faktor agama harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih seorang istri atau calon ibu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya bahwa “wanita yang sebaiknya dinikahi karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya”. Dan jika tiga syarat pertama tidak terpenuhi maka syarat beragama tidak dapat diabaikan. Dengan adanya peran seorang ibu yang demikian besar, maka Nabi Muhammad SAW menempatkan seorang ibu sebagai lembaga pendidikan, (al-ummu madrasatun), ibu pula yang menyebabkan anak tersebut masuk surga atau neraka (al-jannatu tahta aqdamil ummahat), dan ibu pula sebagai tiang negara (al-mar’atu imad al-bilad), dan masih banyak lagi petunjuk Nabi yang berkenaan dengan peran yang harus dimainkan oleh seorang ibu.

4.    Syariat kurban juga mengandung makna bahwa harkat dan martaba manusia harus dijunjung tinggi. Hal ini dapat dilihat dari petunjuk dan informasi ayat tersebut di atas, bahwa ketika di Ibrahim telah membaringkan putranya Isma’il di atas pelipisnya, maka kemudian Alloh menggantinya dengan seekor sembelihan (kibas) yang besar. Hal ini menunjukan bahwa nyawa manusia harus dipelihara dengan baik, dan tidak mungkin pula Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat-Nya itu. Adanya hewan kurban mampu menghilangkan sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya, seperti sifat memperturutkan hawa nafsu, tidak memiliki rasa malu, tidak mengenal haram dan halal, tidak mau bersabar, dan sifat-sifat lainnya. sifat-sifat tersebut harus dibuang jauh-jauh diganti dengan sifat ketakwaan yang tinggi kepada Alloh. Sejalan dengan itu maka yang sampai kepada Alloh dengan kurban itu, bukanlah darah dan daging hewan, tetapi ketakwaan dari orang yang berkurban. Lebih jelas Alloh mengingatkan :
Surat al-Hajj 22:37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧)
Artinya : Yang sampai kepada Alloh bukanlah darah dan daging kurban itu, tetapi ketakwaan yang ada pada diri kamu sekalian.

5.    Bahwa ibadah kurban juga mengajarkan pentingnya semangat berkurban atau mau memberikan sesuatu yang bernilai, bagi orang lain atau bagi kemajuan dan kesejahteraan umat. Kurban tersebut tidak terbatas hanya pada binatang atau harta benda, tetapi juga dapat berupa bentuk lain seperti pengurbanan pikiran, waktu, tenaga, kesempatan, bahkan juga perasaan. Hal ini penting dilakukan karena perintah kurban pada intinya, adalah ujian Alloh tentang seberapa jauh manusia mau berkurban, dan seberapa jauh pula kecintaan kepada Alloh dapat melebihi kecintaannya pada harta bendanya dan lainnya. Dengan pengurbanan yang dilakukan itu maka manusia berarti telah lulus ujian dalam hidupnya dan semakin dekat pula dengan Alloh. Hal ini sejalan dengan makna kurban itu sendiri yang berarti pendekatan atau mendekatkan diri, yaitu mendekatkan diri kepada sesame manusia melalui daging hewan kurban yang diberikan kepada mereka, dan mendekatkan diri kepada Alloh dalam bentuk kepatuhan melaksanakan perintah berkurban semata-mata karena Alloh.

Dengan memperhatikan uraian tersebut diatas, terlihat bahwa inti dari ibadah haji dan kurban adalah pentingnya mematuhi perintah Alloh SWT, mengembangkan rasa kemanusiaan, rela berkorban untuk kebaikan dan senantiasa peduli terhadap nasib-nasib orang-orang yang kurang beruntung dengan cara mau berkurban. Demikianlah sekelumit uraian hikmah ibadah haji dan kurban tentu saja masih banyak sisi hikmah lainnya yang tidak diuraikan seluruhnya disini.

Posting Komentar untuk "Pendidikan Spiritual Hari Raya Idul Adha"