Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Spiritual Halal Bihalal

Setelah melaksanakan Hari Raya Idul Fitri kaum muslimin biasanya merayakan Halal Bihalal yang ditandai dengan bersalam-salaman dan saling maaf-memaafkan lahir dan batin. Halal Bihalal tersebut biasanya diselenggarakan oleh masyarakat berdasarkan persamaan tugas, lingkungan, profesi, dan sebagainya. Oleh karena itu, Halal Bihalal biasanya dilaksanakan di kantor-kantor, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Halal Bihalal tersebut amat penting dilaksanakna dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1.    Bahwa manusia sebagai makhluk yang tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Dengan demikian, Halal bihalal merupakan momentum yang sangat berharga untuk saling memaafkan. Hal ini perlu dilakukan karena kesalahan yang terpendam dan belum dimaafkan akan menjadi ganjalan psikologis yang menyebabkan ia dibayangi oleh rasa salahnya, menyebabkan renggangnya hubungan, lamunan dan sebagainya yang berdampak pada merusak kosentrasi dalam melaksanakan tugas-tugas keseharian.

2.    Bahwa sebagai makhluk sosial, kelangsungan hidup manusia amat bergantung antara saru dan lainnya. Seorang murid misalnya butuh pada guru, demikian pula sebaliknya. Seorang pasien butuh dokter demikian sebaliknya. Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan bersama maka masing-masing pihak harus menunjukan hubungan yang harmonis dan saling pengertian yang tinggi. Hubungan ini mungkin saja sudah mulai renggang atau hampir putus sama sekali disebabkan karena benturan kepentingan masing-masing yang sulit dipertemukan. Keadaan yang demikian jika dibiarkan akan merusak rencana kerja dan mengakibatkan kegagalan.

3.    Bahwa kesalahan yang diperbuat oleh manusia tidak akan langsung dimaafkan oleh Alloh, melainkan harus dimaafkan oleh manusia dengan manusia lainnya. untuk itu diperlukan saling memaafkan antara satu dan lainnya.

Masalah selanjutnya adalah diperbuat oleh manusia tidak akan tersebut dapat dicapai? Jawabnya adalah dengan senantiasa mengembangkan sikap lapang dada, pemaaf, dan besar jiwa. Dalam hubungan ini maka Halal Bihalal yang pada intinya, adalah saling memaafkan dan membangun kembali silahturahmi seharusnya dilaksanakan setiap hari dan tidak hanya terbatas pada Halal Bihalal yang dilaksanakan setahun sekali. Namun demikian Halal Bihalal satu tahun sekali itu dapat dijadikan momentum untuk mengingatkan agar mengembangkan rasa saling memaafkan pada setiap kali terjadi kekhilafan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Spiritual Halal Bihalal



Berkenaan dengan perayaan Halal Bihalal yang satu tahun sekali ini ada beberapa hal yang dapat direnungkan bersama sebagai berikut :

1.    Dilihat dari segi pengertiannya Halal Bihalal berarti saling melepaskan atau saling membebaskan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengertian saling melepaskan dan memaafkan kesalahan, serta membebaskan dari berbagai ganjalan psikologis yang disebabkan karena kekeliruan dan kekhilafan. Halal bihalal juga dapat berarti saling menghalalkan, jika huruf h yang ada pada kata Halal Bihalal tersebut ditulis dengan huruf kecil. Jika pengertian ini yang digunakan maka Halal Bihalal berkaitan dengan sesuatu yang bersifat materi seperti makanan, minuman, pakaian dan sebagainya. Seseorang misalnya mengambil harta milik orang lain (mencuri). Harta tersebut status hukumnya haram bagi yang mengambilnya. Untuk ini ia mendatangi pemiliknya untuk meminta agar harta yang dicurinya itu dihalalkan baginya.

2.    Dilihat dari segi sejarahnya Halal Bihalal biasanya dihubungkan dengan peristiwa yang dilakukan di zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab Durrah al-Nashihin(Mutiara Nasihat), karangan Iman al-Khubawy, diceritakan bahwa menjelang wafatnya, Rasululloh SAW pernah mengumpulkan para sahabatnya di suatu tempat antara Mekah dan Madinah. Di tempat tersebut beliau berpidato yang isinya antara lain, Rasululloh SAW meminta maaf atas kesalahan yang mungkin diperbuat pada masa hayatnya. Pada kesempatan tersebut Rasululloh mengatakan : “Siapakah diantara kalian yang pernah aku sakiti maka pada saat ini aku mohon maaf dan jika perlu silahkan untuk membalas rasa sakitnya, agar tidak menagihnya di akhirat nanti. “ Tentu saja tidak ada sahabat yang berani menyatakan bahwa Rasululloh SAW berbuat salah pada mereka. Namun ada seorang sahabat yang bernama Akasah mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut dengan tujuan untuk lebih dekat dan jika mungkin dapat merangkul badan Rasululloh. Akasah sambil berdiri berkata : “Ya Rasululloh, engkau telah berbuat salah kepadaku”. Rasululloh berkata : “Silahkan maju ke depan dan katakana apa kesalahanku, dan silahkan lakukan pembalasan”. Melihat adegan yang demikian itu, sebagian sahabat yang dekat dengan Rasululloh seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali berusaha menghalangi Akasah dan meminta Alasah jangan sampai memukul Rasululloh, tapi pukullah diri para sahabat tersebut sebagai penggantinya. Namun Rasululloh meminta agar Akasah melakukan pembalasan atas dirinya karena di akhirat nanti dosan dan kesalahan seseorang tidak dapat dilimpahkan terhadap orang lain. Rasululloh SAW berkata lagi kepada Akasah, “Apa kesalahanku dan silahkan lakukan pembalasan”. Akasah menjawab, “Kesalahan Anda adalah pernah dalam suatu peperangan tombak Anda mengenai unta saya, dan kebetulan unta saya tidak mengenakan pakaian. Untuk itu saya minta agar Anda menanggalkan pakaian. Melihat adegan yang demikian, para sahabat semakin jengkel pada Akasah dan menganggapnya sebagai kurang ajar terhadap Rasululloh.

Tapi Rasululloh tetap memenuhi permintaan Akasah dengan menanggalkan pakaiannya, sehingga terlihat bulu ketiaknya. Setelah itu Akasah mendekat pada Rasululloh dan yang dilakukannya bukan memukul Rasululloh SAW tetapi memeluk dan mencium Rasululloh SAW, karena sudah lama ia memiliki hasrat ingin memeluk Rasululloh sebagai ekspresi cintanya yang mendalam kepada Rasululloh. Dengan demikian, sahabat dan hadirin yang lain pun reda emosinya dan menaruh rasa hormat pada Akasah. Dan atas dasar ini pula di kalangan sebagian masyarakat muslim berkembang doa Akasah, yaitu doa yang isinya ditunjukkan agar di akhirat kelak dapat berjump dengan Rasululloh atau selama di dunia dapat menjumpainya melalui mimpi. Hal yang demikian, didasarkan pada keyakinan bahwa barang siapa yang pernah bermimpi berjumpa Rasululloh diharapkan dapat menjadi orang baik dan menjadi calon penghuni surga.

Berolak pada kisah tersebut maka Halal Bihalal dapat dikatakan mengikuti tradisi Rasululloh SAW. Dengan tujuan untuk meminta maaf. Hal yang demikian, lebih-lebih dilakukan oleh mereka yang dilihat dari segi usia dan fisiknya yang sudah mendekati ajal. Sebagaimana halnya Rasululloh SAW melakukan hal itu pada saat menjelang ajalnya tiba. Atas dasar ini maka sebagian sahabat yang dekat dengan Rasululloh, seperti Abu Bakar al-Shiddiq merasa sedih dan mengurung diri di kamar sambil menangis, setelah itu ia menyaksikan apacara Halal Bihalal tersebut.

Hal yang demikian dilakukan Abu Bakar karena ia melihat bahwa dengan upacara tersebut terkandung isyarat bahwa Rasululloh mohon pamit untuk menghadap Alloh SWT (wafat). Abu Bakar khawatir sepeninggal Rasululloh SAW umat kembali pada keadaan buruk seperti sebelum mereka masuk Islam, yakni menyembah berhala, meminum khamar, berjudi, saling bertengkar, dan sebagainya. Lebih dari itu Abu Bakar khawatir, kalau-kalau ajaran Rasululloh SAW ditinggalkan oleh penganutnya.

3.    Peringatan Halal Bihalal mengingatkan kepada firmana Alloh, sebagai berikut :
Surat Ali Imran 3:133-135
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤)وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)
Artinya : Bersegeralah kamu sekalian menuju ampunan dari Tuhanmu sekalian dan mendapatkan surga yang luasnya langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) manusia, karena Alloh menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan buruk atau berbuat dzali, pada dirinya, ia segera mengingat Alloh dan memohon ampun atas segala dosanya serta tidak melanjutkannya atas perbuatan buruk yang pernah dikerjakannya.

Ayat tersebut erat sekali dengan upaya memberi makna terhadap Halal Bihalal, yaitu bahwa Halal Bihalal harus diisi dengan kesadaran untuk memohon ampun kepada Alloh dan kepada sesama manusia, serta berlomba-lomba untuk mencapai balasan surga di akhirat. Perbuatan tersebut dibarengi dengan mengembangkan sikap solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi dengan cara mau memberikan pertolongan kepada orang, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Kebiasaan menunjukkan bahwa seseorang berjanji mau menolong orang lain, apabila dirinya telah berkecukupan. Sikap ini kurang tepat, sebab jika takdir menentukan dirinya tidak pernah menjadi orang yang berkecukupan (kaya raya), maka tentu ia tidak pernah berinfak, sehingga ia tidak memiliki tabungan di akhirat. Sikap yang benar adalah berinfak dilakukan baik pada saat sempit sesuai dengan kadar kesanggupan.

Sehubungan dengan ini menarik sekali kisah yang dikemukakan dalam Kitab Durratun Nashin sebagai berikut :
Pada suatu ketika Rasululloh SAW berkumpul bersama sahabatnya di mesjid, sambil berbincang-bincang di sekitar masalah agama dan masalah umat. Sejenak kemudian datanglah seorang musafir yang tanda-tandanya amat keletihan dan memerlukan pertolongan. Melihat yang demikian itu, Rasululloh bertanya kepada para sahabat yang hadir di tempat itu dengan mengatakan : “Siapakah di antara kalian yang bersedia mengajak mampir musafir ini dan memberikannya bantuan makan? “Menjawab pertanyaan yang demikian itu, serempak para sahabat mengacungkan tangan dan hampir seluruhnya bersedia menolong musafir tersebut. Akhirnya musafir di ajak oleh seorang sahabat yang kurang mampu untuk mampir ke rumahnya. Sesampainya di rumah, sahabat tersebut meminta kepada istrinya agar menyediakan makan untuk satu orang. Sahabat tadi meminta agar makanan tersebut di bagi dua, dan setelah itu makan dimulai. Sejenak kemudian sahabat tersebut mematikan lampu di rumahnya, sehingga keadaan menjadi gelap. Keadaan demikian digunakan oleh sahabat tadi untuk memindahkan bagian makanan yang ada di piringnya ke piring musafir tadi, dengan pertimbangan musafir tersebut amat membutuhkan, dan ia ingin sekali membantunya walaupun dalam keadaan hidup pas-pasan.

Sikap kasih sayang inilah yang harus di sertai Halal Bihalal. Setelah itu diikuti pula dengan sikap mau memaafkan kesalahan orang lain, tanpa terlebih dahulu orang tersebut meminta maaf kepadanya. Dalam hubungan ini menarik sekali hadits Rasululloh SAW yang menyatakan, sebagai berikut :
Hadits H.R. Ibn Mubarak

Artinya : (Ada sejumlah perbuatan) yang paling utama di antara yang utama, yaitu menyambung tali silahturahmi kepada orang yang menjauhimu, memberi makan kepada orang yang tidak pernah memberi sesuatu padamu, dan memaafkan orang yang pernah berbuat dzalim kepadamu.

Menyambung tali silahturahmi terhadap orang yang menjauhi atau mengusir kita, termasuk perbuatan yang paling utama. Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang yang diusir, diisolasi atau dijauhi oleh orang lain. Misalnya ada menantu yang diusir oleh mertuanya, karyawan diusir oleh majikannya, anak diusir oleh orang tua, murid diusir oleh guru, dan seterusnya. Orang-orang yang diusir tersebut secara psikologis amat sakit hatinya dan enggan meminta maaf.

Sebaliknya orang yang pernah mengusirnya pun enggan meminta maaf, karena takut orang yang diusir itu menaruh rasa dendam padanya. Jika kedua perasaan psikologis ini tetap dibiarkan maka hubungan silahturahmi tidak akan terjadi. Yang ideal dan terpuji serta akan meninggalkan martabat, adalah apabila orang yang diusir tadi datang kepada orang yang mengusirnya dan memaafkaannya, karena boleh jadi orang yang mengusir itu sudah lama merasa bersalah namun malu untuk meminta maaf. Jika hal ini dilakukan maka hubungan yang lebih erat akan terjadi di antara keduanya.

Selanjutnya memberi makan atau sesuatu kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu, adalah termasuk perbuatan yang berat pula. Kebiasaan menunjukkan bahwa seseorang mau memberi sesuatu kepada orang lain yang suka memberi. Sedangkan kepada orang yang tidak pernah memberi atau orang yang bakhil (pelit) tidak mau memberinya. Demikian pula orang yang bakhil pun merasa enggan meminta sesuatu kepada orang lain, karena ia merasa dirinya tidak pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal yang demikian jika terus dibiarkan tidak akan menghasilkan silahturahmi yang positif.

Yang ideal adalah apabila orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepada kita itu diberikan sesuatu, dengan harapan dapat mengubah hatinya menjadi orang yang dermawan, sehingga segala sesuatu yang ada dalam dirinya dapat bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Sesuatu yang diberikan itu tidak selamanya harus berbentuk harta benda, melainkan dapat pula berupa kesempatan, peluang dukungan, tenaga, fikiran, perhatian, kasih sayang, dan lain sebagainya. Hal ini penting dilakukan karena dilihat dari kenyataan yang ada, kebutuhan manusia itu amat bervariasi. Ada orang yang membutuhkan harta benda, ada yang membutuhkan sumbangan pemikiran, ada yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang, ada yang membutuhkan dukungan, ada yang membutuhkan keamanan, dan lain sebagainya.

Pemberian bantuan tersebut dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan imbalan yang lebih banyak lagi atau ada keinginan untuk memperbudak orang yang diberikan sesuatu itu. Sebaliknya orang yang diberikan sesuatupun harus menunjukkan rasa terima kasih, menunjukkan rasa butuh terhadap pemberi dan memanfaatkan pemberian untuk hal-hal yang positif. Misalnya, tidak memaanfaatkan pemberian orang lain untuk berjudi, meminum-minuman keras, berzina, berpesta pora, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya. pemberian tersebut seharusnya digunakan untuk hal-hal yang positif untuk beribadah, melanjutkan studi, membangaun masyarakat, dan sebagainya.

Halal Bihalal juga harus diwarnai dengan upaya mau memaafkan terhadap orang yang pernah berbuat dzalim, sungguhpun hal ini termasuk perbuatan yang amat berat dilakukan. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia memiliki rasa dendam berkepanjangan terhadap orang yang pernah berbuat dzalim kepadanya. Sebaliknya orang yang pernah berbuat dzalim pun enggan meminta maaf, karena khawatir orang yang didzalimi itu menaruh dendam terhadap dirinya. Yang ideal adalah apabila orang yang didzalimi itu datang memberikan maaf kepada orang yang mendzalimi. Dengan cara demikian akan tercipta silahturahmi. Dalam hubungan ini menarik sekali kisah berikut ini untuk disimak.
Pada suatu ketika Rasululloh SAW bersama sahabatnya yang benama Bisyir bin Barra bin Marut, pernah diberikan hidangan kepala kambing oleh seorang wanita Yahudi di Khaibar. Sahabat Rasululloh itu memakan gulai kambing yang diracun tersebut, sedangkan Rasululloh memuntahkan kembali hidangan yang sudah ada dimulutnya, karena lidahnya seolah-olah enggan mengunyah dan menelannya sebagai isyarat memberi tahu bahwa hidangan kambing itu mengandung racun. Dua hari kemudian sahabat Rasululloh meninggal, dan Rasululloh segera menemui wanita peracun itu. Di hadapan wanita itu Rasululloh SAW bertanya, “Apakah engkau benar meracun kami?”Wanita tersebut dengan rasa bangga menjawab, “Ya. Karena dengan keberhasilan meracun Anda karier saya sebagai peracu menjadi meningkat. Namun saya mengetahui jika engkau benar-benar seorang Nabi niscaya makanan itu enggan masuk ke perut tuan. Dan ternyata dengan kejadian tersebut, bahwa engkau memang benar-benar Nabi sejati. Untuk itu saya bangga terhadap Anda”. Menjawab pertanyaan demikian, Rasululloh memaafkan wanita tersebut karena keberaniannya berterus terang, sehingga wanita tersebut tertarik kepada sikap Rasululloh yang sangat pemaaf.

Contoh lainnya tentang sikap pemaaf yang ditujukan oleh Rasululloh SAW kepada orang yang pernah mendzaliminya, adalah ketika Rasululloh berhasil merebut kembali kota Mekah dari tangan orang-orang musyrikin Quraish, melalui suatu peristiwa yang dalam sejarah dikenal dengan istilah Futuh Mekah. Ketika Rasululloh SAW berhasil merebut kembali kota Mekah, orang-orang musyrikin Quraish merasa resah, cemas, gelisah, dan khawatir kalau-kalau Rasululloh melakukan pembalasan atas perbuatan dzalim yang mereka lakukan kepada Rasululloh SAW, merasa Rasululloh SAW berada di kota Mekah.

Mereka itu pernah menteror Rasululloh, menghina, mengejek, mengejek, menyakiti, bahkan berupaya untuk membunuhnya. Mereka khawatir perbuatan dzalimnya ini dibalas oleh Rasululloh SAW. Tapi apa yang terjadi, bahwa Rasululloh memberikan maaf kepada mereka, dengan satu syarat mereka menginsafi perbuatannya dengan cara bergabung masuk ke Masjidil Haram.

Rasululloh SAW mengatakan barangsiapa yang masuk ke Masjidil Haram akan dijamin keselamatannya (Wa man dhakhalahu kana amina). Melihat sikap Rasululloh SAW yang pemaaf ini maka sebagian besar dari kaum musyrikin Quraish menyatakan masuk Islam dengan penuh kesadaran. Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :

Surat al-Nashr 110:1-3
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (١)وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (٣)
Artinya : Apabila telah datang pertolongan Alloh dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Alloh secara berbondong. Untuk itu maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampun kepadanya, sesungguhnya Alloh Maha Pengampun.

Perbedaan uraian tersebut terlihat bahwa Halal Bihalal pada intinya, adalah suatu upaya membangun kembali hubungan silahturahmi di antara sesama manusia, dengan cara saling memaafkan, saling membantu dalam kebaikan, dan mengembangkan sikap kepedulian sosial lainnya. dengan cara demikian masing-masing individu akan saling merasa hidup dalam kerukunan dan bermakna yang pada gilirannya dapat menopang kesuksesan usahanya diberbagai bidang, mengingat kesuksesan suatu usaha tidak lepas dari bantuan, dukungan dan kerjasama dengan orang lain.

Inilah antara lain manfaat atau hikmah Halal Bihalal. Hikmah ini terasa amat penting lagi ditengah-tengah situasi bangsa Indonesia yang saat ini dilanda perpecahan, baik antara sesama penganut agama yang satu dengan yang lain, antara satu suku dengan suku lain, dan seterusnya. Dalam hubungan ini Halal Bihalal dengan makna dari pesan spiritualnya sebagaimana dikemukakan di atas patut dihayati, dipahami, dan diamalkan dengan sebaik-baiknya.


Posting Komentar untuk "Pendidikan Spiritual Halal Bihalal"