Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Kaum muslimin di Indonesia pada khususnya dan didunia pada umumnya, selalu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang selanjutnya dikenal dengan istilah Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan tersebut diselenggarakan dengan berbagai cara, sesuai selera dan keinginan serta kesanggupan masyarakat yang menyelenggarakan. Peringatan ini perlu terus dipertahankan dan dilanjutkan, sebagai suatu momentum untuk menyegarkan, meningkatkan dan memperbaharui tekad dan komitmen dalam rangka memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Rasululloh SAW.

Al-Qur’an menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabiul Awal dari seorang wanita bernama Siti Aminah dan seorang ayah bernama Abdulah, adalah untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. (Wa ma arsalanka ila rahmatan li al-‘alamin : Tidaklah Aku (Tuhan) mengutus engkau Muhammad kecuali untuk member rahmat bagi seluruh alam). Kata rahmat tersebut secara sederhana dapat diartikan keuntungan, keberkahan, kebaikan, dan kesejahteraan dalam segala bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sebagainya.

Selanjutnya pada ayat lain dinyatakan bahwa dalam rangka memberi rahmat pada seluruh alam tersebut, Nabi Muhammad SAW menyatakan dirinya sebagai penyempurna terhadap akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW menyatakan : Innama bu ‘itstu li utammima makaarima al-akhlak : “Bahwa sesungguhnya aku diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Dan ketika Siti Aisyah. Istri Rasululloh SAW ditanya para sahabat, apakah akhlak Rasululloh SAW ialah al-Qur’an”. Dengan kata lain bahwa misi kehadiran Rasulloh SAW ke bumi, adalah melakukan perbaikan akhlak agar tercipta rahmat bagi seluruh alam.
Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Berkenaan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini pembahasan tentang pesan Maulid Nabi Muhammad SAW akan difokuskan pada seberapa jauh akhlak Rasululloh SAW, telah kita pahami dan hayati? dan bagaimana contoh-contoh yang dapat diambil dari akhlak Rasululloh itu? Mengingat akhlak Rasulloh SAW ini harus pula diikuti dan dijadikan teladan bagi umat manusia. Alloh SWT menyatakan laqad kana lakum fi Rasulillah uswatun hasanah : Sungguh pada diri Rasulloh SAW terdapat teladan yang baik untuk kamu sekalian. (Q.S.al-Ahzab 33:21)

Akhlak Rasulloh SAW diakui oleh para peneliti sebagai akhlak yang paling unggul dibandingkan akhlak lainnya. Seorang pemikir Islam dari India, Abu A’la al-Maududi melukiskan kepribadian Rasulloh SAW dengan ungkapan : He is the only personality that all exellences have been blended in him = Ia (Muhammad) adalah satu-satunya pribadi dimana seluruh keunggulan kualitas terdapat pada dirinya. Hal ini dapat dikemukakan dalam sepuluh akhlak sebagai berikut.

1.    Sebagai kanak-kanak Rasulloh telah menunjukan sebagai anak yang baik. Ia rajin membantu pamannya menggembala kambing karena menyadari bahwa ia hidup karena pertolongan dan bantuan pamannya yang diketahui secara ekonomis berada dalam kekurangan. Sejak kecil ia telah menunjukan sifat-sifat yang baik seperti tidak pernah melakukan perbuatan buruk yang dilakukan masyrakat pada masanya seperti : berjudi, minum-minuman keras, berfoya-foya, dan sebagainya. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Muhammad SAW tertarik untuk melihat suatu hiburan yang ada di tempat tinggalnya di mekah. Tetapi di tempat itu Muhammad tertidur hingga pagi hari, hingga tidak menyaksikan hiburan tersebut. Sebagai anak yatim yang ditinggalkan ayahnya sejak dalam kandungan, dan ditinggalkan ibunya sejak umur enam tahun, ia tidak putus asa atau merasa sedih, melainkan ia tetap tabah dan optimis. Hal ini hendaknya menjadi contoh teladan bagi anak-anak yatim pada khususnya dan anak-anak pada umumnya.

 2.    Sebagai suami, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai suami yang amat saying pada isrinya. Kepada Siti Aisyah, Rasulloh SAW memanggilnya dengan ucapan “Ya Humaira : Wahai bunga mawar yang sedang mekar”. Tidak hanya pada istrinya, kepada wanita lainpun ia amat menyayanginya. Wanita dianggap tiang negara (al-Mar’ah imad al-Bilad), dianggap sebagai madrasah (tempat diselenggarakannya kegiatan pendidikan). Jika wanita itu disiapkan dengan baik maka berarti ia telah menyiapkan generasi muda masa depan yang baik pula. (al-Umm Madrasah idza ‘adadtaha khairan,’adadta syu’ban khairan : Ibu (wanita) itu bagaikan madrasah, jika engkau menyiapkan dengan baik, maka berarti telah menyiapkan generasi muda masa depan yang baik). Lebih lanjut Nabi Muhammad SAW menempatkan surge dibawah telapak kaki ibu (wanita) : al-Jannatu tahta aqdam al-Ummahat).

3.    Sebagai suami, ayah, dan kakek. Sebagai suami, Rasulloh SAW dikenal sangat sayang dan mencintai istrinya. Dalam buku-buku sejarah tercatat bahwa istri beliau yang pertama, ialah Siti Khadijah yang dinikahinya pada saar wanita tersebut berusia 40 tahun, sedangkan Rasulloh SAW baru berusia 25 tahun. Beliau berumah tangga dengan Siti Khadijah lebih kurang 25 tahun. Pada masa itu Rasulloh tidak mempunyai istri lain kecuali Siti Khadijah dan beliau berpisah, karena Siti Khadijah meninggal dunia. Setelah itu Rasulloh SAW menduda cukup lama sampai kemudian, Abu Bakar meminta Rasululloh SAW agar menikahi putrinya, Siti Aisyah yang masih gadis. Berdasarkan berbagai pertimbangan sebagai manusia yang punya hasrat biologis dan untuk kepentingan dakwah, akhirnya Rasululloh SAW menikah dengan Siti Aisyah hingga memperoleh keturunan anak dan cucu. Kepada istrinya Rasululloh amat mencintainya. Beliau terkadang memanggil Siti Aisyah dengan panggilan Ya Humaira = “Wahai Bunga Mawar yang sedang mekar”.

Dan ketika Rasululloh SAW melakukan penaklukan kota Mekah (Futuh Makkah), maka yang pertama kali di cari adalah makam istri pertamanya, yaitu Siti Khadijah. Dimakam itu Rasululloh berdoa untuk istrinya, sambil termenung mengenang kembali jasa-jasa istrinya yang telah mengorbankan seluruh kekayaan, jiwa dan raga untuk kejayaan Islam. Selanjutnya buku-buku sejarah seperti Hayat Muhammad (Kehidupan Nabi Muhammad SAW), karangan Husain Haikal atau dalam buku The Spirit of Islam, karangan Sayyed Ameer Ali disebutkan bahwa Rasulloh beristri lebih dari satu atau dengan istilah yang biasa dikenal adalah poligami. Para penulis Barat yang kurang jujur dan sentiment atas kemajuan Islam, biasanya menggunakan poligami Rasululloh SAW sebagai peluang untuk mengatakan bahwa Rasululloh memiliki kelainan seksual (hiper seks), play boy, dan sebagainya.

Berdasarkan data sejarah, tuduhan ini sama sekali tidak benar dan merusak citra Rasululloh SAW dan citra ajaran Islam. Sejarah mencatat bahwa Rasululloh menikahi wanita-wanita yang kehilangan suaminya (janda), karena suaminya itu gugur di medan perang. Wanita-wanita tersebut secara ekonomi dan sosial perlu dibantu, karena beban hidupnya yang berat, ditambah dengan anak-anaknya yang kehilangan ayah dan sebagainya. Wanita-wanita tersebut dinikahi Rasululloh SAW untuk melindunginya dan memberikan bantuan bagi kelangsungan hidupnya. Selain itu ada pula wanita-wanita yang dinikahinya itu sudah berusia lanjut sehingga lebih banyak memerlukan pertolongan. Atas dasar kemanusiaan, dakwah dan sosial Rasululloh SAW menikahi wanita-wanita tersebut.
Kepada wanita-wanita yang sudah beranak, Rasululloh menggambarkannya sebagai madrasah tempat pembinaan para putera-puterinya.

Jika si ibu dibina dengan baik maka si ibu akan melahirkan anak-anak yang baik. Lebih lanjut Rasululloh SAW menyatakan bahwa surge berada ditelapak kaki ibu (al-jannatu tahta aqdam al-ummahat), dan orang yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya durhaka termasuk ibu termasuk orang yang berdosa besar dan diancam api neraka. Perhatian Rasulloh yang sedemikian besar terhadap kaum wanita dan para ibu disertai kasih sayangnya, adalah cukup logis mengingat jasa seorang wanita atau ibu sedemikian besar baik dalam menyiapkan generasi yang akan datang, penciptaan rumah tangga yang sakinah, dan berbagai tugas kemanusiaan lainnya yang tidak mungkin ditangani oleh kaum pria seperti merawat pasien, melahirkan keturunan, menyusui dan sebagainya.

Dengan perannya yang demikian besar itu, tidak aneh jika Rasululloh SAW menyatakan bahwa wanita sebagai tiang negara(al-Mar’atu Imad al-Bidad). Dengan cara memberikan perhatian dan perlakuan yang baik terhadap kaum wanita itu maka peran-peran strategis harus dilakukan oleh kaum wanita dan ibu dapat terlaksana dengan baik. Dengan cara demikian maka kehidupan suatu bangsa akan menjadi kokoh dan jaya, sejahtera lahir dan batin. Atas dasar pertimbangan itu, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada tokoh yang amat berpengaruh di dunia ini yang amat besar perhatiannya terhadap kaum wanita, baik sebagi istri, sebagai ibu, dan sebagainya kecuali Rasululloh. Hal yang demikian patut direnungkan karena banyak sekali problema sosial terjadi yang disebabkan perlakuan kurang baik dari para suami terhadap istri-istrinya.

Sebagai ayah atau kakek, Nabi Muhamad SAW dikenal sangat dekat dengan anak-anaknya dan cucunya, bahkan dengan anak-anak kecil lainnya. Syeikh Ibrahim dalam bukunya Adab al-Islam mengatakan sebagai berikut : “Pernah suatu ketika Rasululloh SAW sedang sujud (shalat), cucunya Hasan masuk ke dalam kamar. Lalu cucunya itu naik ke atas punggung Rasululloh SAW karena cucunya yang masih kecil itu belum tahu bahwa Rasululloh sendang mengerjakan shalat. Rasululloh SAW tetap membiarkan cucunya itu sambil terus sujud dengan agak lama, hingga cucunya turun dari punggung Rasululloh SAW. Kejadian tersebut kebetulan terlihat oleh sahabat Rasululloh SAW. Lalu sahabat itu bertanya : “Ya rasululloh aku melihat engkau sujud begitu lama, apakah engkau sedang menqadha shalat? Menjawab pertanyaan yang demikian Rasululloh SAW berkata : Inna ibn irtahalani ga karihtu ‘an u’jilahu (bahwa cucuku sedang bersantai di atas punggungku maka aku enggan untuk mengganggunya).”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa seorang wanita telah datang kepada Rasululloh SAW sambil membawa bayi. Kemudian Rasululloh SAW meminta kepada wanita itu untuk menggendong bayinya. Si wanita tampak sungkan menyerahkan bayinya kepada Rasululloh SAW, karena takut mengotori pakaian Rasululloh SAW atau mengencinginya sebagaimana lazimnya bayi tersebut. Si wanita dengan rasa malu menyerahkan bayinya untuk digendong oleh Rasululloh SAW. Ketika bayi itu berada di pangkuan Rasululloh SAW ternyata bayi itu mengencinginya. Melihat yang demikian Rasululloh SAW berkata : “Wahai saudaraku, bahwa luka dihati sang bayi lebih sulit dihilangkan dibandingkan dengan air kencingnya yang mengenai pakaian.”

Dari contoh-contoh kejadian tersebut terlihat dengan jelas bahwa Rasululloh SAW sangat dekat dengan cucunya dan anak-anak keci pada umumnya. Dalam peristiwa tersebut ternyata Rasululloh SAW sangat memahami psikologis bayi dan anak kecil pada umumnya, yaitu bahwa anak-anak memiliki jiwa rekreatif dan senang bermain, bercanda, dan sebagainya. Dan itu pula yang dikaji oleh para fisosof seperti Ibn Miskawaih, Ibn Sina, dan al-Ghazali. Ketika para filosof itu merumuskan metode pengajaran yang tepat untuk anak-anak, seperti mengajarkan akhlak melalui syair-syair dan cerita-cerita pendek, bermain dan sebagainya Rasululloh SAW jauh sebelum para filosof mengemukakan pendapatnya itu telah memahami psikologis anak. Dalam kaitan ini Rasululloh SAW menggambarkan bahwa jiwa anak seperti gelas yang bening dan putih. Gelas tersebut harus disentuh hati-hati jangan sampai pecah dan jangan sampai diisi dengan sesuatu yang kotor.

Pemahaman Rasululloh SAW tentang psikologis anak tersebut telah dipraktekkan dalam kehidupannya, sebagaimana terlihat pada contoh-contoh diatas. Hal ini patut kita renungkan, karena sebagai manusia yang normal kita biasa memiliki anak, cucu dan berhadapan pula dengan anak-anak pada umumnya. Mereka itu laksana tunas-tunas muda harapan masa depan bangsa. Jika mereka dibina sejak kecil dengan cara yang sesuai dengan perkembangan jiwanya maka anak-anak akan menjadi baik. Sebaliknya apabila pembinaan terhadap anak-anak terlambat maka akan mengalami kesulitan pada tahapan pembinaan selanjutnya. Untuk membina anak-anak kita mau mengerjakan shalat dan dapat mempraktekkannya dengan benar, maka Rasululloh SAW menganjurkan agar setiap orang tua mengajarkan dan menyuruh anaknya yang masih berumur 7 tahun untuk melaksanakan shalat. Dan jika hingga umur 10 tahun anak tersebut belum juga menghiraukan perintah orang tuanya, maka anak tersebut boleh dipukul oleh orang tuanya. Namun dengan pukulan yang bersifat mendidik, bukan kebencian dan jangan sampai melukai fisiknya. Hal ini dilakukan agar pada waktunya nanti, ketika si anak sudah baligh (dewasa) dan telah datang kewajiban shalat baginya maka ia tidak merasa berat dan mengalami kesulitan dalam mengerjakannya.

Dengan kata lain, walaupun kewajiban shalat itu baru datang sesudah anak menjadi baligh, tetapi perintah untuk mengerjakan shalat harus dimulai sejak kecil karena jika perintah tersebut baru dilakukan pada usia anak sudah dewasa, maka akan mengalami kesulitan dan perintah tersebut akan diabaikan karena jiwa si anak sudah dipengaruhi berbagai faktor yang bersifat keduniawian, sekuler dan materialistic. Fenomena yang terjadi pada masa sekarang, dimana banyak sekali anak-anak yang tidak dapat mengerjakan shalat bahkan enggan melakukannya, boleh jadi karena keterlambatan orang tua dalam mengajarkan dan membina anak-anak itu.

Selanjutnya Rasululloh juga dapat dilihat sebagai teladan dalam bidang pertempuran dan diplomasi. Rasulloh SAW telah tampil sebagai panglima perang yang gagah dan berani dan jenius serta tokoh diplomasi yang ulung. Sejarah Islam mencatat bahwa Rasululloh SAW telah memimpin sejumlah peperangan besar, seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khaibar, Perang Muktah, dan Perang Khandak. Seluruh peperangan yang dipimpin oleh Rasululloh SAW itu dapat dimenangkan oleh umat Islam, kecuali Perang Uhud. Perang Badar, jumlah pasukan kaum musyrikin Quraish berkekuatan tiga kali lipat dari jumlah pasukan yang dipimpin umat Islam. Padahal Rasululloh SAW dan pasukan secara militer belum begitu kuat, karena perang tersebut terjadi pada tahun kedua setelah Rasululloh SAW dan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Pada peperangan tersebut Rasululloh SAW mengambil teknik menyerang dengan penuh semangat dan keyakinan akan pertolongan Alloh SWT dan kemenangan. Dan sebelum perang tersebut dilakukan Rasululloh SAW terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap kekuatan musuh. Menurut Husain Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad, Rasululloh SAW menugaskan sejumlah sahabat untuk menyelidiki kekuatan musuh, dengan cara menghitung jumlah unta yang dipotong kaum musyrikin Quraish setiap hari. Menurut kebiasaan bahwa satu ekor unta biasanya dimakan seratus orang. Dengan demikian jika jumlah unta yang dipotong dapat diketahui, maka jumlah pasukan kaum musyrikin Quraish pun dapat diperkirakan dengan cara mengalikan angka seratus dengan jumlah unta yang dipotong.

Penelitian ini mirip dengan penelitian grounded research atau penelitian terlibat. Misalnya kita ingin mengetahui berapa gaji tiap bulan seorang pejabat, maka kita dapat bertanya langsung kepada pejabat tersebut. Karena hal ini selain kurang etis dan kurang taktis, juga bisa diduga yang bukan-bukan, misalnya orang yang bertanya itu bisa diduga akan memerasnya atau meminta sumbangan dan sebagainya, dan tidak mungkin pula pejabat tersebut mau mengemukakan jumlah gaji yang diterimanya tiap bulan. Untuk mengetahui jumlah gaji seorang pejabat, kita dapat menyelidikinya indikator-indikator yang ada hubungannya dengan pendapatan para pejabat tersebut, misalnya dengan menyelidiki rumah tempat tinggalnya, kendaraannya, fasilitas dan kekayaannya, pakaiannya. Kita dapat menarik kesimpulan perkiraan pendapatan tersebut. Penelitian model inilah yang dipraktekan Rasululloh SAW sebelum dilakukannya Perang Badar.

Selanjutnya pada Perang Uhud, jumlah pasukan yang dipimpin Rasululloh juga tidak sebanding dengan jumlah pasukan yang dimiliki kaum musyrikin Quraish. Pada perang ini Rasululloh menggunakan sistem penyerangan berlapis dan membagi pasukan ke dalam berbagai tugas yang berbeda. Di antaranya ada pasukan yang bertugas menyerang (pasukan darat), ada pasukan kuda yang bertugas melakukan pengintaian dan penyergapan, ada pasukan panah, ada bagian perbekalan dan sebagainya. Masing-masing pasukan tersebut telah diatur posisinya oleh Rasululloh SAW dengan baik. Dengan teknik perang seperti itu Rasululloh SAW dan pasukannya sudah hampir meraih kemenangan, karena telah banyak tentara kaum musyrikin yang gugur. Namun, sebagian dari pasukan Rasululloh SAW ada yang melanggar disiplin. Mereka meninggalkan pos pertahanan yang digariskan Rasululloh SAW, karena tertarik untuk mengambil barang-barang berharga (ghanimah) yang terdapat pada pasukan musyrikin yang kalah. Akibatnya, pos pertahanan kaum muslimin diambil oleh pasukan musyrikin, dan dari pos pertahanan itu kaum musyrikin melakukan penyerangan hingga kaum muslimin menderita kekalahan fatal, bahkan Rasululloh sendiri menderita luka parah.
Demikian pula pada perang Khandak, Rasululloh mengambil teknik perang dengan sistem bertahan di balik parit yang dibuat sedemikian rupa. Parit dalam bahasa Arab disebit khandak dibangun dengan memanfaatkan tenaga ahli bangunan parit berkebangsaan Persia, yaitu Salman al-Farisi. Dengan teknik perang seperti itu Rasululloh SAW dan pasukannya dapat meraih kemenangan gemilang.

Dari tiga contoh perang tersebut diatas terlihat bahwa Rasululloh SAW menampilkan dirinya sebagai ahli dibidang pertahanan, keamanan dan peperangan. Namun demikian, tujuan perang yang dilakukan Rasululloh SAW bukanlah untuk menghancurkan manusia, tetapi semata-mata untuk menegakkan kalimatullah, menjaga martabat agama dan umat Islam, membela diri serta memberikan pelajaran kepada pihak lawan, bahwa suatu kebatilan walaupun dipertahankan dengan mati-matian, pada akhirnya akan mengalami kekalahan. Oleh karena itu, jika dalam peperangan tersebut pihak musuh telah menyatakan menyerah, maka Rasululloh SAW melarang kepada pasukannya untuk berbuat diluar batas-batas kemanusiaan. Hal yang demikian misalnya diperlihatkan oleh Rasululloh SAW ketika memasuki wilayah yang telah dikuasainya. Beliau meminta kepada pasukannya untuk tidak menyakiti perempuan, anak-anak, jangan merusak tanaman, jangan membinasakan bangunan, dan perbuatan manusiawi lainnya. sejarah juga mencatat, bahwa dari seluruh peperangan tersebut Rasululloh SAW tidak pernah membunuh musuh kecuali hanya sekali, yaitu ketika dalam Perang Khaibar, Rasululloh terdesak dan hampir terbunuh oleh musuh maka Rasululloh SAW segera mengambil tombak yang ada pada salah seorang pasukannya, lalu tombak tersebut dilemparkannya ke pihak lawan tepat mengenai sasaran, sehingga orang yang akan membunuh itu terbunuh terlebih dahulu.

Sebagai diplomat yang ulung, Rasululloh SAW telah menunjukan keberhasilannya mempersatukan suku-suku Arab yang saling bertempur hingga menjadi suatu kekuatan yang solid dan tangguh. Rasululloh SAW juga berhasil membujuk pihak lawan untuk mau melakukan perundingan dan perdamaian, sehingga mereka mau menandatangani Perjanjian Khudaibah, Piagam Madinah, dan sebagainya. Melalui kekuatan diplomasinya pula pertumpahan darah dapat ditekan seminimal mungkin.

Selanjutnya Rasululloh SAW dapat pula dilihat sebagai seorang ahli pendidik yang berhasil. Hal ini terbukti dengan tampilnya para sahabat beliau yang dalam dirinya, terpadu dan terjalin dengan baik antara kedalaman ilmu dengan kesalehan dalam beramal. Atas dasar ini pula mereka telah menunjukkan sikap dan kepribadian Islami yang unggul, sehingga rela mengorbankan jiwa raganya untuk kejayaan Islam. Dan kader-kader didikan Rasululloh ini pula yang kemudian menjadi peletak kebangkitan Islam pada tahap selanjutnya. Menurut informasi yang diberikan Ziauddin Alavi dalam bukunya Moslem Educational Thought in the Middle Age, bahwa Rasululloh SAW adalah guru pertama dalam Islam. Beliau menggunakan mesjid Nabawi untuk mengajar al-Qur’an dan akhlakul karimah. Untuk lebih menjangkau sasaran didik yang lebih luas, dan Rasululloh mengangkat sejumlah guru dan menyebarkannya ke wilayah Islam pada waktu itu. Rasululloh menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimin dan muslimat, mulai dari ayunan hingga ke liang lahat, mulai dari lingkungan keluarga, sampai pada lingkungan yang lebih luas, jika perlu ke negeri Cina. Orang yang memiliki ilmu wajib mengajarkannya pada orang lain yang mengamalkannya, hingga orang yang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya itu akan diancam dengan api neraka sebelum para penyembah berhala.

Pergi menuntut ilmu dinilai dengan jihad di jalan Alloh SWT, bahkan lebih tinggi nilainya dari pada mengerjakan shalat sunah. Dalam suatu riwayat yang dikemukakan Husain al-Nadwi, bahwa pada suatu ketika Rasululloh menjumpai kedua kelompok orang di mesjid. Kelompok yang pertama sedang mengerjakan shalat sunah, sedangkan kelompok yang lain sedang berdiskusi memperbicangkan suatu masalah ilmu. Rasululloh SAW ternyata bergabung dengan kelompok yang tengah mendiskusikan masalah ilmiah. Dalam hubungan dengan pendidikan, Rasulloh menekankan agar mengajar dengan cara manusiawi, terbuka, dan demokratis. Manusiawi dalam arti mengajar berdasarkan kesanggupan dan kemampuan daya tangkap peserta didik. Terbuka dalam arti Rasululloh bersedia untuk menerima masukan dan kritik yang disampaikan para sahabatnya. Dan demokrasi dalam arti Rasululloh juga menghargai pendapat yang dikemukakan para sahabatnya.

Dalam pada itu Rasululloh juga ternyata sebagai seorang sahabat yang setia dan sejati. Beliau sangat menyayangi para sahabatnya, tetapi beliau tidak segan-segan untuk mengingatkan sahabatnya yang nyata-nyata berbuat keliru, dengan cara yang baik dan tidak menyinggung perasaan. Untuk lebih dekat dengan para sahabatnya ini, Rasululloh tidak segan-segan memberikan julukan atau sebutan yang menyenangkan hati para sahabatnya. Abu Bakar diberi gelar al-Shiddiq (orang yang jujur), Umar diberi gelar al-Faruq (pemisah antara yang hak dan bathil), Usman diberi gelar Dzun Nurain (memiliki dua cahaya), dan kepada Ali diberikan gelar Karramallahu Wajhah (semoga Alloh SWT memuliakannya). Dengan gelar-gelar yang demikian itu maka terjadi keakraban dan kehangatan batin antara Rasululloh SAW dengan para sahabatnya.

Selanjutnya Rasululloh juga dikenal sebagai ahli dalam bidang perdagangan. Sejarah mencatat bahwa beliau selalu beruntung dalam berniaga. Jauh sebelum dia diangkat jadi Rasul, beliau telah berdagang ke Siria dengan membawa dagangan pengusaha wanita, Siti Khadijah yang selanjutnya menjadi istri beliau yang setia. Keberhasilan Rasululloh SAW dalam melakukan perdagangan tersebut tidak lepas dari kepandaiannya dan juga karena kejujurannya, sehingga menjadi daya tarik bagi para pembeli.
Sejarah selanjutnya mencatat Rasululloh sebagai ahli ibadah, bahkan sebagai tokoh spiritual yang darinya para ahli tasawuf mengambil pijakan untuk membangun ajaran tasawuf. Jauh sebelum jadi Rasul, beliau sudah terbiasa bermunajat kepada Alloh SWT, bertanus (menyepi), merenung tentang hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan. Setelah menjadi Rasul, beliau senantiasa tekun beribadah. Ia sering bangun malam, melaksanakan shalat, berdzikir, memohon ampun (beristighfar) tidak kurang seratus kali sehari. Sampai Siti Aisyah, istrinya bertanya :”Bukankah engkau seorang Rasul yang dipelihara Alloh SWT dan dicintai-Nya? “Rasululloh SAW menjawab dengan balik bertanya : “Apakah engkau tidak suka jika aku menjadi seorang hamba yang paling bersyukur? Ketaatan dalam beribadah ini dipadukan dengan sikap yang tidak mau terpedaya dengan kehidupan duniawi. Dengan mengemukakan hal-hal tersebut, tidak mengherankan jika sebagian para peneliti tasawuf, seperti al-Qusyairi atau Hussein Nasr menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoj sufi Islam.

Dalam bidang sosial, Nabi Muhammad SAW terkenal sebagai seorang yang sangat memperdulikan kaum yang lemah seperti kaum wanita, hamba sahaya, dan lainnya kaum duafa. Kaum wanita yang semula kurang dihargai martabatnya diangkat oleh Nabi menjadi istrinya, diberi perlindungan dan diberi peran-peran yang tidak kalah dengan peran yang dimainkan kaum pria. Kepada budak, seperti Bilal bin Abi Raba’ah, budak hitam legam berkebangsaan Afrika yang semula tidak diperhatikan orang, Nabi mengangkatnya sebagai mu’adzin (pengumandang adzan), sebuah jabatan yang secara spiritual cukup tinggi, karena berkaitan dengan mengajak manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia. Demikian pula kepada Zaid ibn Tsabit, Nabi mengangkat menjadi anak angkatnya bahkan sekretaris pribadinya.

Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Rasululloh sangat menaruh perhatian kepada seorang pengurus mesjid dari kalangan masyarakat rendah. Pengurus mesjid yang kebetulan wanita itu kemudian meninggal sementara Rasululloh tidak diberitahu atas meninggalnya pengurus mesjid tersebut. Pada suatu ketika Rasululloh datang mengunjungi pengurus mesjid dan bertanya kepada penduduk sekitarnya tentang keberadaan pengurus mesjid. Masyarakat sekitar memberitahukan bahwa pengurus mesjid tersebut telah meninggal beberapa hari yang lalu. Kemudian Rasululloh dengan nada yang agak jengkel berkata : “Mengapa kalian tidak memberitahukan kematian pengurus mesjid tersebut kepada aku? “ Penduduk setempat mengatakan : “Bahwa pengurus mesjid itu hanya orang kecil bagi kami. “Mendengar perkataan demikian Rasululloh SAW mengatakan bahwa orang itu kecil bagi kalian, tetapi besar artinya bagi aku. Untuk itu antarkanlah aku ke kuburan orang itu. Kemudian Rasululloh SAW datang ke kuburan orang itu dan memanjatkan doa serta memintakan ampun untuknya kepada Alloh SWT.

Upaya memberikan perhatian ini didasarkan pada ajaran Nabi yang menegakkan anti rasialis, anti kebangsaan, dan sebagainya sebagai ukuran martabat manusia. Nabi menyatakan ukuran ketinggian derajat seseorang bukan karena kebangsaan, keturunan, warna kulit, dan sebagainya melainkan atas dasar ketakwaan. Nabi menyatakan : Orang Arab tidak lebih utama daripada orang asing yang bukan Arab, orang yang berkulit putih lebih mulia daripada orang yang berkulit hitam dan seterusnya. Dengan prinsip-prinsip ajarannya itu maka Nabi dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari lapisan masyarakat bawah sampai dengan lapisan menengah dan masyarakat tingkat tinggi.

Kepedulian sosial Nabi ini diikuti pula dengan sikap dan akhlaknya yang mulia, seperti shidiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan pesan dengan benar), fathanah (cerdas). Selain itu pula Rasululloh SAW bersama sahabatnya bernama Bissyir bin Barra bin Ma’rur pernah diracun oleh seorang wanita penduduk Khaibar, dengan cara menyediakan gulai kambing yang diberi racun. Dua hari kemudian Bissyir bin Barra meninggal dunia, sedangkan Nabi Muhammad SAW selamat karena ketika gulai kambing itu sampai ke lidah beliau, daginga kambing itu (seolah-olah) berbicara bahwa padanya terdapat racun, kemudian Nabi memuntahkannya, sedangkan Bissyir bin Barra sudah terlanjur menyantapnya. Wanita itu dengan bangga mengakui perbuatannya karena telah berhasil menjalankan misinya hingga ia mendapatkan hadiah dari penguasa Khaibar. Wanita itu berkata, bahwa aku sengaja meracuni engkau untuk mengetahui apakah engkau seorang Nabi ata manusia biasa. Jika engkau seorang Nabi niscaya engkau akan terhindar dari makanan tersebut dan ternyata engkau seorang Nabi. Atas pengakuan tersebut Rasululloh memaafkannya.

Selanjutnya Rasululloh SAW juga selalu teguh dalam prinsip dan memegang kebenaran walaupun harus mengorbankan jiwa raganya. Hal ini terlihat ketika beliau dibujuk oleh kaum musyrikin untuk menghentikan dakwahnya dengan imbalan kedudukan, harta, dan wanita. Tetapi Rasululloh SAW bersumpah tidak akan meninggalkan tugas dakwahnya, walaupun Alloh SWT menimpakan bulan ditangan kirinya, dan matahari di tangan kanannya atau bahkan sampai ia harus berhadapan dengan kematian. Untuk itu beliau tidak takut menghadapi ancaman, teror, intimidasi, dan sebagainya yang dilontarkan kaum musyrikin.

Berdasarkan uraian tersebut Nabi Muhammad SAW merupakan contoh ideal bagi umat manusia, dalam segala bidang baik politik, pertahanan, keamanan, militer, sosial, pendidikan, keagamaan dan lain sebagainya.

Sikap yang demikian dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Fath 48:29 sebagai berikut :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٢٩)

Artinya : Muhammad itu adalah Rasululloh dan orang-orang yang bersamanya bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang di antara sesamanya, engkau lihat mereka ruku dan sujud, mengharapkan keridhaan Alloh, tanda-tanda mereka terlihat pada wajah sebagai bekas sujud.
Atas dasar itu pula maka tepat sekali apa yang dikemukakan Abul Ala-Maududi bahwa bahwa pada diri Nabi terdapat keunggulan-keunggulan yang tidak ada pada orang lain. Keunggulan itulah yang harus direnungkan, diteladani, dan dipraktekkan sebagai wujud dari pengalaman hikmah mauled Nabi Muhammad SAW.

Posting Komentar untuk "Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW"