Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Nuzulul Quran

Peringatan turunnya al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan istilah Nuzul al-Qur’an sudah demikian dikenal luas dan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini patut kita syukuri dan pelihara selamanya, karena dengan peringatan tersebut kita tidak akan kehilangan momentum yang sangat berharga untuk mengingatkan dan memperbaharui kesadaran tentang pentingnya memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran al-Qur’an.
Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Nuzulul Quran
Dengan demikian, umat islam akan memiliki pedoman hidup yang akan menyelamatkan dirinya dari kesesatan dan bencana, sesuai dengan jaminan Rasulloh SAW yang dinyatakan dalam haditsnya sebagai beriku:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya : Aku tinggalkan untuk sekalian dua perkara yang tidak akan tersesat selama kamu sekalian berperang pada keduanya, yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunah Rasulloh SAW (al-Hadits).
Namun, dalam kenyataanya masih banyaj umat Islam yang belum dapat memahami, menghayati dan mengamalkan al-Qur’an, mereka tidak merasakan kehadiran al-Qur’an sebagai rahmat bagi dirinya. Sebagai akibat dari keadaan yang demikian itu maka ketika mereka berhadaoan dengan berbagai masalah yang dijumpai dalam kehidupannya seperti masalah politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Mereka akan berpegang pada ajaran dan pemikiran lainnya yang belum tentu sejalan dengan ajaran al-Qur’an. Sikap masyarakat pada umumnya terhadap al-Qur’an sebagian besar cenderung bersifat emosionalistis, yaitu pengakuan yang tulus bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang harus dimuliakan dan dibaca untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Sikap yang demikian tentu saja baik, namun jika ingin merasa rahmat dari keberadaan al-Qur’an, tersebut tentu saja tidak sampai disitu saja. Upaya untuk dapat memahami dan mengamalkan al-Qur’an adalah lebih penting karena ajaran al-Qur’an itu sendiri lebih menekankan pada pengamalan.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut diatas maka dalam membicarakan masalah Nuzul al-Qur’an, paling kurang ada tiga hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut :
1.    Menyakini dengan sesungguhnya bahwa kitab suci al-Qur’an yang ada hingga sekarang masih tetap orisinil dan kandungan ajaran yang ada didalamnya, lebih unggul dibandingkan ajaran manapun yang dibuat manusia. Dengan cara demikian keberadaan al-Qur’an akan menjadi hakim bagi dirinya dan setiap pemikiran yang berasal dari manusia yang darang kepadanya, baru diterima jika sejalan dengan al-Qur’an. Untuk menumbuhkan keyakinan kita dapat merujuk pendapat Abd al-Wahab al-Khallaf dalam bukunya Ushul al-Fiqh yang mengatakan sebagai berikut :

Artinya : Al-Qur’an adalah firman Alloh SWT yang diturunkan kepada Rasulloh Muhammad bin Abdulah melalui Ruh al-Amin (Jibril) dengan lafadz dan maknanya yang benar yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas yang disampaikan kepada kita dengan cara munawatir, setahap demi setahap dan terpelihara dari segala perubahan dan pergantian serta dinilai ibadah bagi orang yang membacanya.

Dengan definisi tersebut paling kurang ada empat argumentasi yang meyakinkan bahwa al-Qur’an benar-benar kalamullah yang tetap orisinil yakni :
a)    Definisi tersebut menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai perkataan Alloh SWT, bukan perkataan nabi, manusia apalagi selagi ucapan setan sebagaimana dinyatakan oleh Salman Rusydi melalui bukunya Satanic Verses yang selanjutnya menimbulkan heboh dunia Islam. Sampai-sampai pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomaeni bersikap geram dan berjanji memberikan hadiah besar bagi orang yang dapat membunuh Salman Rusydi, dan sampai akhir hayatnya Khomaeni tidak mencabut pernyataanya itu.

Sebagai perkataan dari Alloh SWT yang maha besar. Maka al-Qur’an dipastikan mutlak benar dan hingga sekarang belum ada seorang pun yang dapat menyangkal atau membatalkan kebenaran al-Qur’an.

Hal ini jauh berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan para ahli, berapapun hebatnya teori tersebut karena teori tersebut berasal dari manusia yang serba terbatas. Demikian pula bahan dan data hasil pengamatan, serta metode yang digunakan untuk membangun teori tersebut juga terbatas. Dengan demikian yang terbatas (finite) tidak dapat membatalkan yang tidak terbatas (infinite).

Demikian antara lain diungkapkan Prof.Dr.Quraish Shihab, pakar tafsir terkenal Indonesia dalam bukunya Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Oleh sebab itu, tidak tepat mencari pembenaran suatu teori dari ayat-ayat al-Qur’an karena boleh jadi teori yang dinyatakan sebagai yang dibenarkan al-Qur’an menjadi ikut-ikutan di selewengkan atau dibuat tidak benar, padahal yang sesungguhnya tidak demikian. Selain itu tidak pula pada tempatnya memaksa al-Qur’an agar tunduk pada metode ilmu pengetahuan, karena al-Qur’an bukan buku tentang ilmu pengetahuan yang serba terbatas itu.

Hal ini penting disampaikan karena pada awal tahu 70 an banyak dari kalangan umat islam seperti orang kebakaran jenggot yang mencoba mencocokkan ajaran al-Qur’an dengan berbagai teori ilmu pengetahuan hanya sekedar untuk tidak disebut sebagai umat yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan.

b)    Definisi tersebut menyatakan bahwa dari segi penerimaannya al-Qur’an itu diberikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diberi gelar al-Amin dan sebagai Nabi yang Ummi. Sejarah telah menunjukan bahwa Nabi adalah seorang yang terpercaya hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai Abu Bakar mendapat gelar as-Shiddiq, karena ialah orang yang paling percaya terhadap sikap al-Aminnya Rasulloh SAW. Hal ini terlihat ketika masyarakat memberikan reaksi negative terhadap apa yang dialami Nabi Muhammad SAW berkenaan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, dengan menuduh  Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang kurang waras.

Namun Abu Bakar dengan tegas menyatakan, bahwa jika yang dikemukakan informasi tersebut adalah benar adanya. Hal ini timbul dari keyakinan dan pengetahuan Abu Bakar tentang Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang amanah.

Dengan sifat amanah atau al-Aminnya ini tidak mungkin Nabi Muhammad SAW memalsukan atau mendustakan al-Qur’an, bahkan Nabi Muhammad yang dipercaya Alloh sebagai mubayyin (penjelas) atau mufassir (penafsir) terhadap al-Qur’an.

Kepercayaan Alloh kepada Nabi Muhammad ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang amanah. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memiliki sifat al-ma’sum yakni dipelihara, dijaga atau dilindungi oleh Alloh SWT dari kemungkinan berbuat salah atau melakukan kesalahan. Sifat ini diikuti dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang Ummi.

Orang keliru menafsirkan al-ummi sebagai orang yang bodoh. Ummi bukan berarti bodoh, tetapi tidak pandai baca tulis karena pengertian bodoh dalam bahasa arab bukan al-ummi, tetapi al-biladah atau al-jahl. Nabi bukan seorang yang bodoh atau jahil, karena jika ia seorang yang bodoh mana mungkin ia dapat memahami pesan al-Qur’an dan mana mungkin pula ia dapat dilampaui oleh kehebatan pemimpin dunia, bahkan para nabi sebelumnya.

Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam buku Seratus Tokoh Dunia Yang Paling Berpengaruh yang ditulis oleh Michel Hart. Keummian Nabi Muhammad tampak sengaja direncanakan oleh Alloh SWT. Berkenaan dengan ini sebagai ahli tafsir ada yang berasumsi bahwa dengan keummian Nabi Muhammad SAW itu dimaksudkan agar tidak timbul atau dugaan perkiraan, bahwa al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad SAW.

Dengan kata lain. Jika Nabi Muhammad SAW dapat menulis dan membaca pada saat diturunkannya al-Qur’an sebagai buatan Nabi Muhammad SAW sulit dihindari. Namun dengan keadaan Nabi yang Ummi itu maka tidak ada jalan untuk mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai buatan Nabi Muhammad SAW.

Keummian tak ubahnya seperti gelas yang bersih (steril) yang disiapkan oleh Alloh SWT sedemikian rupa, karena akan diisi dengan sesuatu yang bersih (steril) pula, yaitu kalamullah.

c)    Definisi tersebut juga menyebutkan tentang keterlibatan Malaikat Jibril sebagai pengantar turunnya al-Qur’an. Kedudukan Jibril as sebagai pengantar juga dilengkapi dengan sifat terpercaya. Itulah sebabnya Jibril as disebut sebagai Ruh al-Amin (malaikat yang terpercaya).

Hal ini sejalan dengan firman Alloh SWT :
Al-Tahrim 66:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
Artinya : Bahwa mereka (para malaikat) itu tidak pernah sekali-kali berbuat durhaka kepada Alloh atas apa yang diperintah-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Alloh kepadanya.
Dengan sifat dan kepribadian Jibril as yang demikian itu, tidak mungkin Jibril berkhianat kepada Alloh SWT dengan cara tidak menyampaikan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW atau berusaha mengubah atau menghilangkannya atau seluruhnya.

d)    Definisi tersebut mengatakan bahwa al-Quran disampaikan oleh suatu generasi ke generasi lainnya secara mutawir, yakni diterima dari sejumlah orang banyak kepada orang dalam jumlah banyak yang diantara mereka diyakini kejujurannya dan tidak satupun yang menyangkalnya. Dalam tradisi keilmuan juga berlaku prinsip ilmuan yang terpercaya dan memiliki otoritas dalam bidangnya, maka tidak ada orang lain yang dapat menyangkalnya adanya peristiwa tersebut.

Bukti lainnya tentang kebenaran al-Qur’an dan keorisinilan al-Qur’an juga dapat dihubungkan dengan kemukjizatan al-Qur’an yang menurut Prof.Dr.H.M.Quraish Shihab dalam bukunya sebagaimana disebutkan sebelumnya, mencangkup tiga hal, yaitu (a) pemberitaan ghaibnya, (b) isyarat-isyarat ilmiahnya dan (c) redaksinya. Pemberitaan ghaib yang berkenaan dengan kehidupan akhirat misalnya tidak mungkin berasal dari manusia atau bahkan dari nabi, karena manusia atau nabi juga tidak akan tahu adanya pemberitaan yang ghaib tersebut juga tidak diberitahukan oleh Alloh SWT.

Sedangkan isyarat-isyarat ilmiah yang dimaksudkan, adalah bahwa apa yang dinyatakan al-Qur’an tentang sesuatu seperti proses kejadian manusia dengan tahapannya, ternyata terbukti keberadaannya setelah dipelajari dan dicocokan dengan keadaan yang sebenarnya dalam praktek. Isyarat-isyarat ilmiah ini tidak mungkin berasal dari Nabi Muhammad SAW yang selama hidupnya tidak pernah mengenal atau berhubungan dengan masalah-masalah ilmiah. Adapun dari segi redaksi atau susunannya sebagai suatu keseluruhan antara satu ayat dengan ayat lainnnya atau satu surat dengan surat lainnya, saling berhubungan yang tidak mungkin dapat ditiru oleh manusia adalah menjadi bukti lain tentang kebenaran al-Qur’an.

Belakangan muncul pula temuan yang menyatakan bahwa jumlah kata-kata bahkan huruf dalam suatu surat ternyata dirancang sedemikian rupa. Jumlah kata surga sebagai lawan dari kata neraka ternyata jumlahnya sama. Demikian pula jumlah huruf pada setiap surat dalam al-Quran ternyata selalu dapat dibagi habis oleh angka Sembilan belas yang merupakan jumlah huruf yang terdapat pada kalimat bismillahirrahmaanirrahim.

Bukti lain tentang kebenaran dan keorisinilan al-Qur’an, adalah berkenaan dengan waktu diturunkannya yaitu pada malam Lailatul Qadar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Malam itu demikian agung disaksikan oleh seluruh malaikat dan dinilai memiliki keistimewaan dibandingkan bulan lainnya, dengan perbandingan lebih baik dari seribu bulan lainnya.

Selanjutnya dilihat dari segi para penulisnya, al-Qur’an ditulis dan dibukukan oleh generasi pertama (sahabat) yang diakui kapabilitas keilmuannya dan keunggulan sikap ketakwaannya, sehingga mereka diyakini dapat memelihara al-Qur’an yang diwariskan Nabi Muhammad SAW. Penulisan al-Qur’an juga berada dibawah pengawasan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan pada saat al-Qur’an diturunkan.

Dengan demikian, data-data yang ditulis tersebut masih segar dalam ingatan dan belum ada yang hilang atau tercecer.
Dengan mengemukakan alasan dan fakta-fakta tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa turunnya al-Qur’an itu benar-benar direncanakan oleh Alloh SWT sendiri dan dijamin kebenaran serta orisinialitasnya sampai sekarang. Hal ini sejalan dengan firman Alloh SWT yang menyatakan :
Al-hijr 15:9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
Artinya : sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.

Pemakaian kata “Kami” dalam proses penurunan dan pemeliharaan al-Qur’an sebagaimana al-Qur’an disebutkan ayat tersebut telah cukup jelas dengan mengemukakan uraian diatas. Yakni penurunan al-Qur’an melibatkan Nabi Muhammad SAW, Jibril as, para penulis penghafal al-Qur’an dan sebagainya. Peran-peran yang dimainkan mereka itu diakui oleh Alloh SWT, karenanya Alloh tidak menggunakan kata Ana (Aku) dalam ayat tersebut, melainkan menggunakan kata kami yang menunjukan adanya keterlibatkan orang lain. Di sinilah letak sikap demokratis dan penghargaan Alloh terhadap peran-peran yang dilakukan manusia.

2.    Harus pula dipahami bahwa turunnya al-Qur’an adalah merupakan proses terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh umat manusia saat itu, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan dan lain sebagainya. Al-Qur’an datang untuk memberikan jawaban atau pemecahan terhadap berbagai bidang kehidupan umat manusia. Abu Hasan Aliy al-Hasan al-Nadwiy dalam bukunya Maa dza Khasir al-‘Alam bi Inhithah al-Muslimin, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu Laila dan Muhammad Thohir dengan judul Apa Kerugian Yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin, menggambarkan situasi turunnya al-Qur’an sebagai berikut:

Muhammad bin Abdullah SAW diutus Alloh sebagai Nabi dan Rasul tepat dalam keadaan dunia laksana suatu bangunan yang sedang digoncang oeh gempa yang hebat sekali, sehingga semua isinya berantakan tidak di tempat semestinya. Ada sebagian dari tiang-tiang dan perkakasnya yang rusak dan hancur, ada yang miring dan bengkok, ada yang bergeser dari tempatnya semula pindah ke tempat lain yang tidak pantas dan ada yang bertumpang tindih saling bertumpuk.

Pernyataan ini dikuatkan lebih lanjut oleh al-Nadwiy dalam bukunya tersebut dengan mengemukakan fakta-fakta sejarah mengenai terjadinya kekacauan dalam segala bidang kehidupan yang berimplikasi pada penyengsaraan kaum yang lemah dan menguntungkan kaum yang kuat.

Dalam bidang politik, sejarah mencatat tentang sikap otoriter, absolut dan kejam yang dilakukan pemerintah Romawi di Mesir. Mereka tidak punya tujuan selain satu hal, yaitu menggaruk kekayaan sebesar-besarnya dari rakyat untuk kepentingan orang-orang yang berkuasa. Dalam pikiran pemerintah yang seperti itu tidak terlintas sama sekali hendak meningkatkan kesejahteraan rakyat ; mempertinggi taraf kehidupan rakyat dan tidak pula terlintas tujuan mendidik rakyat atau memperbaiki syarat-syarat penghidupan penghidupan mereka.

Demikian pula ketika pemerintah Romawi berkuasa di Syam (Syria) yang berlaku kejam dengan cara memperbudak penduduk tersebut. Mereka diperas dengan membebani pajak diluar kesanggupannya. Mereka juga terkadang dipaksa untuk berperang hanya untuk tujuan kelangsungan kekuasaan penguasa. Mereka yang berani menentang tidak segan-segan dihukum secara kejam, dengan cara dicabut lidahnya atau dimasukkan ke kandang harimau dan binatang buas lainnya, dikubur hidup-hidup dan lain sebagainya.

Dalam bidang sosial, masyarakat dibagi ke dalam sistem kelas yang didasarkan pada status, kedudukan, kekayaan, warna kulit, keturunannya, jenis kelamin dan lain sebagainya. Status sosial yang menonjol terlihat antara raja dan rakyat.

Kedudukan raja mirip kedudukan Tuhan, sedangkan kedudukan rakyat tak ubahnya seperti budak. Sebuah riwayat menarik tentang Abu Musa tepat untuk dikemukakan disini. Kami datang menghadap Najasyi (Raja Habasyah). Ia mengatakan, “Datang” lalu menghadap Najasyi. Ia sedang duduk diatas singgasany, Amr bin al-‘Ash disebelah kanannya, sedangkan ‘Amarah disebelah kirinya dan beberapa orang pemuka agama Nasrani mendahului kami berkata “Sujudlah kalian kepada raja”. Saat itu Ja’far bin Abi Thalib menyahut “Kami tidak akan sujud selain kepada Alloh”.

Demikian pula sistem kasta yang dimasukkan bangsa Aria ke dalam ajaran agama yang berkembang di India, juga didalamnya terdapat konsep perbedaan kelas dengan mengatas namakan agama. Perbedaan sosial juga terlihat antara kedua kaum pria dan wanita. Kaum wanita benar-benar dalam kedudukan yang rendah, tak ubahnya seperti benda yang tidak bernyawa dan tidak memiliki hak asasi. Mereka diperlakukan sebagai pemuas hawa nafsu, diperjual belikan. Bahkan pada kelompok suku tertentu pada masyarakat jahiliyah ada yang menganggap hina mendapatkan anak perempuan, yang nilainya sebagai beban karenanya mereka tidak segan-segan mengubur anak perempuan hidup-hidup.

Selanjutnya di bidang ekonomi telah tumbuh berkembang praktek melipatkan gandakan pinjaman uang yang dikenal dengan sistem riba. Jika seseorang meminjam uang, maka setelah jatuh tempo harus membayar dua kali lipat dari besarnya pinjaman tersebut. Dan jika dalam waktu yang cukup lama pinjaman uang tersebut, juga belum dibayarkan maka bunganya bisa menjadi ratusan kali lipat menyebabkan orang yang meminjam uang tersebut harus melepaskan rumahnya, bahkan anaknya sebagai jaminan membayar hutang. Padahal jangankan untuk membayar bunga, untuk membayat pokoknya saja si peminjam tidak sanggup.

Dalam bidang kebudayaan, masyarakat saat itu tengah dilanda budaya hidup bermewah-mewahan dan kecongkakan yang luar biasa. Mereka tenggelam dalam gelombang samudera peradaban yang dibuat-buat dan cara hidup serba palsu. Raja-raja Persia dan Romawi serta para bangsawan dan penguasa-penguasa di kedua negeri tersebut sudah sedemikian jauh terbenam dalam kesesatan, hingga tak ada lagi yang dipikirkan selain kelezatan dan kemewahan hidup. Kecongkakan dan kesombongan mereka terlampau batas.

Mereka terbenam sepenuhnya dalam kepentingan hidup bersenang-senang, dalam “peradaban” yang berlebih-lebihan dan kenikmatan-kenikmatan hidup lainnya. Al-Nadwiy dalam bukunya Mazda Khasira al-‘Alam bu Inhitaah al-Muslim, mengatakan bahwa Maharaja Persia, Kisra Abruwis memelihara dua belas selir, mempunyai lima puluh ekor kuda dan alat-alat kemewahan lainnya yang sukar dihitung, seperti istana megah dan bentuk kekayaan yang amat menyolok.

Selanjutnya dalam bidang keagamaan telah masuk unsur luar berupa bid’ah, khufarat dan tahayul yang pada intinya tipu daya manusia ke dalam agama, sehingga warna asli agama yang mengajarkan tauhid telah berubah menjadi alat untuk tujuan orang-orang yang berkuasa pada saat itu. Agama Madzak yang pernah berkembang di Persia saat itu misalnya memiliki ajaran mirip ajaran komunis, yaitu ajaran yang menghalalkan segala cara untuk memuaskan selera hawa nafsu.

Demikian pula Konstantin Yang Agung yang bersedia masuk agama. Nasrani ternyata juga telah menggunakan agama tersebut sebagai kendaraan politiknya yang pada akhirnya merugikan kaum Nasrani tersebut. Para pemuka agama yang datang pada masa itu sepertinya sudah tidak berdaya lagi menghadapi kekacauan tersebut.

Selanjutnya dalam bidang pendidikan, pada masa itu pendidikan hanya menjadi hak istimewa kaum elite, sedangkan masyarakat pada umumnya dibiarkan bodoh agar dapat dengan mudah di perbudak, ditindas, dirampas haknya, dibodohi dan diselewengkan akidahnya. Keadaan yang demikian, identik dengan yang pernah dilakukan pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia pada masa penjajahan. Belanda memberikan pendidikan hanya pada kelompok sosial tertentu yang dinilai loyal dan dapat bekerja sama dengan Belanda, seperti anak bupati, anak wedana, anak camat dan anak lurah. Sedangkan anak-anak orang pada umumnya dibiarkan bodoh.

Hal ini baru berubah ketika Belanda mendapat tekanan dari Dunia Internasional yang menyatakan bahwa Belanda sudah terlalu lama menyengsarakan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, ia harus berbuat baik kepada rakyat Indonesia. Untuk itu Belanda menetapkan politik etik (politik balas budi) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat bahwa untuk memperoleh pendidikan namun terbatas hanya pada pendidikan rendah. Hal ini beda dengan Inggris yang menjajah Mesir, India dan lainnya yang memberikan pendidikan kepada rakyat jajahannya.

Kekacauan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, agama, sosial dan pendidikan seperti itulah yang terjadi pada saat al-Qur’an diturunkan dan ini pula yang digambarkan oleh ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut :
Al-Rum 30:41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٤١)
Artinya : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan yang dilakukan oleh tangan-tangan mereka sendiri, agar sebagian dari yang melakukannya merasakan kepedihannya, agar merek kembali pada jalan yang benar.

Sehubungan dengan ini makan di dalam al-Qur’an banyak kita jumpai ayat-ayat yang berbicara tentang hak-hak asasi manusia, mengukur ketinggian manusia bukan karena kesukuan, kebangsaan, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, status dan lain sebagainya melainkan karena ketakwaannya.

Inilah yang dimaksudkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbunyi ;
Al-Hujurat 49:13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Artinya : Hai sekalian manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Alloh adalah orang yang paling mulia. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.

Sejalan dengan ayat tersebut Nabi Muhammad SAW dalam berbagai haditsnya banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan arti rasialis. Nabi misalnya mengatakan, bahwa orang Arab tidak lebih mulia daripada orang yang bukan Arab, tidak pula lebih mulia orang yang berkulit putih dari yang berkulit hitam. Untuk itu Nabi banyak memberikan peran kepada orang-orang yang berkulit hitam seperti kepada Bilal bin Abi Raba’ah dalam kedudukan sebagai mua’dzin. Kepada Zaid bin Tsabit yang semula sebagai budak kemudian diangkat menjadi anak angkatnya.

Rasululloh juga memperkerjakan Salman al-Farisi yang berkebangsaan Persia untuk menggali parit untuk kepentingan Perang Handak. Demikian pula kaum wanita Nabi Muhammad SAW memberikan status sebagai tiang negara, sebagai pendidik dan sebagai ahli dalam bidang ilmu pengetahuan seperti yang diperlakukan oleh Siti Aisyah.

Dalam bidang politik, al-Qur’an menekankan sikap musyawarah, demokrasi kebersamaan, adil dan jujur dan sama sekali tidak membenarkan politik yang otoriter dan absolute. Untuk itu al-Qur’an menyuruh taat kepada pemimpin tidak secara mutlak. Seorang pemimpin tidak boleh memiliki derajat yang sama dengan Alloh SWT atau Rasul, tetapi seorang Raja adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang mungkin berbuat keliru. Untuk itu seorang tidak harus ditaati secara mutlak.

Dalam hubungannya ini al-Qur’an menyatakan :
An-Nisa 4:59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
artinya : Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Alloh dan kepada Rasul serta orang-orang yang memiliki kekuasaan (Uli-Amin).

Penghilangan atau tidak terdapatnya kata athi’u yang mengiringi kata uli-amr yang pada ayat tersebut, oleh para ahli tafsir diartikan, bahwa taat kepada uli al-amri bersifat kondisional. Jika uli- al-amri itu sejalan dengan perintah Alloh dan Rasul-Nya maka wajib ditaati, sedangkan jika uli al-amr tersebut sudah keluar dari garis al-Qur’an dan Hadits, maka tidak perlu ditaati.

Dalam hubungan ini Nabi juga mengingatkan, “Bahwa orang-orang yang beriman wajib mentaati perintah baik terhadap hal-hal yang ia sukai maupun yang hal-hal yang tidak ia sukai, sepanjang tidak menyuruh berbuat dosa. Sedangkan jika uli al-amr tersebut menyuruh berbuat dosa dan maksiat maka tidak perlu lagi ditaati”.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, al-Qur’an menempatkannya sebagai langkah yang amat strategis untuk mengubah nasib manusia. Hal ini dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan, yakni al-‘Alaq ayat 1 sampai 5 yang berbicara tentang pendidikan, baik dari segi pelaksana, metode, kurikulum, alat dan tujuannya. Bahkan al-Qur’an sendiri mempunyai nama yang populer yaitu al-Kitab dan al-Qur’an itu sendiri.

Al-Qur’an berarti bacaan atau membaca, dan al-Kitab berarti tulisan. Membaca dan menulis adalah merupakan pengetahuan dasar yang diberikan dalam kegiatan pendidikan. Atas dasar itu pula Salih Abdullah Salih dalam bukunya Islamic Education Qur’anic Outlook sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab pendidikan. Sejalan dengan itu Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya menerapkan pendidikan seumur hidup (long life education), dan pendidikan untuk semua orang (education for all).

Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Qur’an turun dalam rangkan merespon dan memberikan solusi terhadap masalah yang menyengsarakan dan menghancurkan kehidupan manusia, yaitu masalah politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal ini perlu dicamkan oleh mereka yang selama ini menggeluti al-Qur’an untuk mencoba menjadikan al-Qur’an semakin resposif terhadap berbagai masalah tersebut semakin menunjukan kompleksitas yang tinggi.

Hal ini penting dicatat, mengingat kenyataan di masyarakat bahwa al-Qur’an tampak kurang dijadikan rujukan untuk merespon berbagai masalah tersebut. Para musafir dengan kitab Tafsirnya tampak asyik dengan dunianya sendiri dan pemahaman terhadap al-Qur’an cenderung menjadi semacam kegiatan olah piker semata atau rasional exercise. Mereka memahami al-Qur’an sesuai  dengan sudut pandangnya masing-masing.

Dalam hubungan ini kita jumpai penafsiran yang bercorak fikih, teologi, filsafat, tasawuf, kebahasaan dan lain sebagainya yang terlepas dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Akibatnya masyarakat tidak merasakan rahmat dari kehadiran al-Qur’an tersebut. Keadaan ini terjadi sejak zaman pertengahan abad 11 sampai sekarang.

Belum banyak para peneliti yang mengungkap mengapa keadaan ini terjadi. Sebagian menduga karena para musafir kurang peka terhadap masalah sosial yang ada disekitarnya, serta kekurangan ilmu bantu yang mereka butuhkan untuk mengkomunikasikan al-Qur’an, seperti ilmu sosial, ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan modern lainnya.

Tantangan ini dijawab antara lain oleh Mahmud Syaltout dengan konsepnya mengenai metode penafsiran yang bertolak dari tema permasalahan yang muncul di masyarakat, kemudian mencarikan jawabannya dengan melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran. Upaya ini didukung oleh Farmasi yang menulis buku tentang Metode Penafsiran Tematik yang berjudul al-Badayah fi al-Tafsir al-Maudlui. Namun model penafsiran ini masih belum populer di kalangan masyarakat Islam pada umumnya dan kalangan pesantren serta perguruan tinggi Islam pada khususnya.

3.    Harus dipahami tentang inti pesan ajaran al-Qur’an dalam mengatasi masalah tersebut. Fazlur Rahman dalam bukunya al-Islam, mengatakan inti ajaran al-Qur’an adalah akhlak yang bertumpu pada akidah dan syari’ah. Akhlak tersebut ditampilkan al-Qur’an sejalan dengan respon al-Qur’an terhadap berbagai masalah sebagaimana disebutkan diatas, yaitu bahwa seluruh aspek kehidupan manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya harus diberikan nilai-nilai akhlak yang didasarkan pada akidah dan syari’ah.

Ajaran al-Qur’an tentang akidah bersifat intrgrated atau menyatu dengan seluruh aspek yang dibahas di dalamnya.dengan kata lain semua aspek yang harus dibahas dalam al-Qur’an, tujuannya bukan berhenti pada materi pembahasan itu sendiri, tetapi yang dituju adalah pesan moral atau ajaran akhlak yang terkandung di dalamnya. Itulah sebabnya dapat dikatakan sungguh pun al-Qur’an berbicara tentang ketuhanan atau teologi tetapi al-Qur’an, bukanlah buku tentang teologi, karena di samping masalah teologi yang di bahas dalam al-Qur’an itu tidak disusun berdasarkan metode dan sistematika teologi, juga tujuannya bukan terletak pada teologi itu sendiri, melainkan pada apa sesungguhnya pesan ajaran moral yang dihasilkan melalui teologi tersebut.

Demikian pula ketika al-Qur’an berbicara tentang sejarah, alam raya, manusia dan sebagainya tujuannya adalah untuk menangkap pesan akhlak yang ada didalamnya. Ketika al-Qur’an berbicara tentang sejarah Nabi Yusuf misalnya, tujuannya adalah akhlak.

Dilihat dari segi materinya, kisah Nabi Yusuf dalam al-Qur’an diwarnai hal-hal yang berbau pornografi, karena di dalam surat tersebut ditampilkan kisah jatuh cintanya seorang istri penguasa kepada Nabi Yusuf yang selanjutnya mengajak Nabi Yusuf agar berbuat mesum dengannya. Istri raja diceritakan dalam surat Yusuf tersebut mengajak Yusuf masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya dan merayu Nabi Yusuf sedemikian rupa, hingga terjadi tarik menarik dan sampai baju Nabi Yusuf terkoyak. Nabi Yusuf dalam surat tersebut dijelaskan tetap bertahan tidak mau melakukan perbuatan tersebut, sungguh pun Nabi Yusuf sebagai manusia memiliki hasrat biologis sebagaimana manusia pada umumnya.

Jika yang dilihat dari kisah tersebut hanya materi kisahnya saja, tentu orang akan mengatakan bahwa al-Qur’an telah dinodai kesuciannya. Itulah sebabnya pada sebagian kalangan Syi’ah ada yang tidak mau memasukan surat Yusuf sebagai dari surat yang ada di dalam al-Qur’an karena jika surat Yusuf itu dimasukan ke dalam al-Qur’an akan dapt menodai kesucian al-Qur’an. Cara pandang yang demikian itu sungguh keliru. Surat Yusuf tetap sebagai bagian dari surat yang ada di dalam al-Qur’an dan status kesuciannya sama dengan surat-surat lainnya.

Hal yang perlu ditangkap adalah pesan moral yang tersirat dalam surat tersebut. Melalui surat Yusuf, Alloh SWT mengajarkan tentang akhlak berupa perlunya mewujudkan keseimbangan antara ketampanan batin dan ketampanan lahir. Secara lahiriyah Nabi Yusuf disebutkan dalam al-Qur’an sebagai Nabi yang tampan. Hal ini terbukti dari ketertarikannya sejumlah wanita ketika Nabi Yusuf tampil dihadapannya.

Secara batiniyah Nabi Yusuf telah menunjukan keberhasilannya menjaga diri perbuatan tersebut demikian besar, dan Nabi Yusuf sebagai manusia yang memiliki dorongan biologis mampu mengendalikan dorongan tersebut karena kekuatan batin dan rasa takutnya yang mendalam terhadap segala perbuatan yang dilarang Tuhan. Kisah Nabi Yusuf yang demikian itu seharusnya dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang berfikir, yaitu untuk dipahami pesan, moral yang terkandung di dalamnya dan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian pula ketika al-Qur’an berbicara tentang karakter kehidupan binatang lebah sebagaimana yang terdapat di dalam surat al-Nahl, bukan dimaksudkan hanya sekedar mengenal dan mengagumi lebah. Tetapi yang terpenting mengagumi kepada pencipta-Nya, yaitu Alloh SWT serta mengambil pelajran dan pesan moral dari kisah tersebut.

Seorang peneliti dari Austria, Karl Van Fritch telah melakukan penelitian terhadap karakteristik lebah, dan ia menemukan berbagai keajaiban yang terdapat pada binatang tersebut. Keajaiban binatang lebah bukan hanya terlihat pada jenisnya yang jantan dan betina, juga tidak hanya terlihat dari sarang-sarangnya yang tersususn dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi selaput sangat halus yang menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya. Juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkan menjadi makanan dan obat untuk segala penyakit.

Keajaiban lebah mencangkup semua itu, termasuk pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi dibawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang berstatus sebagai ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi.

Pesan moral yang terkandung dari kisah lebah, adalah tentang perlunya memiliki sikap hidup yang baik secara komprehensif yang dalam bahasa al-jilli (ahli tasawuf abad pertengahan) dikenal dengan istilah “Insan Kamil”, yaitu manusia sempurna. Kisah tersebut memperlihatkan bahwa lebah senantiasa menjaga kesucian diri dengan tidak mau berbuat mesum didepan anak buahnya, memiliki tempat tinggal unik yang dapat diartikan sebagai sikap menjaga diri dari pengaruh-pengaruh yang buruk.

Lebah juga mengeluarkan madu sebagai bahan makanan yang baik dan bersih seperti sari pati bunga. Ini dapat diartikan bahwa lebah tidak mau memakan makanan yang buruk dan tidak baik, dan hal ini hendaknya menjadi bahan renungan manusia agar tidak mau memakan  makanan yang haram baik karena jenisnya maupun sebab-sebab datangnya makanan tersebut, seperti makanan hasil mencuri, merampok dan sebagainya.

Selanjutnya, jika lebah hinggap di dahan atau diranting, ia tidak merusak dahan maupun ranting tersebut. Ini mengandung pengertian bahwa lebah tidak mau merusak lingkungan. Ia dapat bekerja sama dengan lingkungan sekitarnya. Ia mengambil manfaat dari lingkungannya tersebut dan juga memberikan manfaat pada lingkungan yang dikeluarkan dari perutnya berupa madu. Lebah juga memiliki koloni dan tingkat gotong royong dan solidaritas tinggi.

Mereka bahu membahu membuat sarangnya yang unik membuat sarangnya diganggu orang atau ada diantara mereka yang diganggu orang atau lainnya, maka ia segera bersatu untuk menyerang si pengganggu. Dari kenyataan tersebut kita dapat memetik pelajaran tentang perlunya membangun solidaritas dan kesetiakawanan yang kuat di antara sesama manusia.

Dua contoh tentang Nabi Yusuf dan kisah lebah, cukup menjadi bukti bahwa di balik kisah yang ada di dalam al-Qur’an pada intinya mengajarkan tentang akhlak. Dua contoh tersebut kiranya cukup menjadi bahkan renungan bagi kita untuk memahami pesan ajaran akhlak yang terdapat pada surat-surat lainnya yang ada didalam al-Qur’an.

Untuk itu diperlukan kebersihan jiwa, kejenihan pikiran, keikhlasan, ketelitian, kejelian, dan penguasaan terhadap pengetahuan lainnya agar dapat memahami pesan-pesan moral yang terkandung dalam setiap surat yang ada di dalam al-Qur’an. Dengan cara demikian itu kita dapat memperoleh manfaat spiritual sebesar-besarnya dari al-Qur’an yang kita perlukan untuk menjadi dasar motivasi dan pertimbangan pada saat itu akan melakukan berbagai pekerjaan.

Demikian pula ketika kita mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan tauhid, kita jumpai ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Tuhan, selanjutnya dihimpun dalam Asmaul Husna yang seperti sifat al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Malik (Maha Berkuasa), al-Qudus (Maha Suci), al-Salam (Maha Pemberi Selamat), dan seterusnya. Nama-nama tersebut bukan hanya sekedar untuk dihafal dan diharapkan dan diharapkan kekuatan misteriusnya seperti mendatangkan pahala dan menghindarkan dari hal-hal yang merugikan sebagaimana yang diyakini masyarakat awam.

Tetapi yang terpenting adalah upaya untuk menyerap sifat-sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang mulia. Dengan kata lain, yang terpenting adalah berakhlak atau meniru sifat-sifat Tuhan menurut kadar kesanggupan manusia atau dengan istilah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, adalah al-takhalluq bi akhlaq Alloh ‘ala Thaqah al-Basyariyah (berbudi pekerti dengan budi pekerti Alloh menurut kadar kesanggupan manusia).

Dengan demikian, jika Alloh bersifat al-Rahman (Maha Pengasih) maka manusia juga harus menunjukan sikap pengasih terhadap sesame manusia dan makhluk lainnya, sehingga kehadiran orang tersebut member manfaat bagi lingkungannya.

Demikian pula jika Alloh bersifat Maha Suci maka manusia juga harus berupaya menjaga kesucian dirinya dari perbuatan tercela. Selanjutnya jika Alloh bersifat Maha Mengetahui maka manusia hendaknya berupaya menghias dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Jika Sembilan puluh Sembilan sifat Tuhan berhasil dicerna oleh manusia sesuai dengan kadar kesanggupannya, maka diyakini manusia tersebut akan tampil sebagai orang yang berakhlak mulia dan akan berdampak pula bagi peningkatan, kemajuan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian hidupnya baik didunia maupun diakhirat.

Demikianlah contoh analisis tentang sejauh mana surat-surat yang ada dalam al-Qur’an mengandung ajaran yang berhubungan dengan perbaikan akhlak. Dan ini pula yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya ketika Siti Aisyah ditanya oleh sahabat tentang akhlak Rasulloh SAW, Siti Aisyah menjawab bahwa akhlak Rasulloh SAW adalah al-Qur’an (Kana Khuluquhu al-Qur’an : bahwa akhlak Nabi itu adalah al-Qur’an).

Selanjutnya ajaran akhlak juga terlihat dari ajaran al-Qur’an tentang syari’at ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Diketahui bahwa dengan shalat seseorang dapat menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW dikatakan bahwa shalat yang diterima oleh Alloh SWT, adalah shalat yang menyebabkan orang yang melakukannya semakin merasa rendah hati, kasih saying terhadap orang miskin, anak-anak yatim, fakir miskin, para janda dan orang-orang yang menderita dalam kehidupannya.

Demikian pula ajaran tentang puasa menghendaki orang yang mengerjakannya menjadi orang yang berakhlak taqwa yang ciri-cirinya disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 57, sebagai orang yang mau berinfak baik dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan amarahnya, memaafkan kesalahan orang lain dan apabila berbuat yang buruk, atau berbuat dzalim pada dirinya, ia segera bertaubat dari kesalahannya itu. Selain itu orang yang bertaqwa sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 177, adalah orang yang memiliki iman yang kokoh, menjalin hubungan vertical dengan Alloh dan hubungan horizontal dengan sesama manusia, menepati janji apabila berjanji, dan bersikap sabar dalam keadaan sulit dan dalam keadaan genting.

Selanjutnya dalam syariat Islam tentang zakat yang disebutkan di dalam al-Qur’an, juga dimaksudkan agar manusia memiliki kesadaran dan kepedulian sosial terhadap nasib orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung, dan terhadap berbagai kegiatan yang secara ekonomi perlu dibantu, seperti fakir, miskin, ibn sabil, pembangunan di jalan Alloh SWT dan sebagainya. Demikian pula ajaran tentang ibadah haji juga mengandung akhlak. Al-Qur’an misalnya mengatakan bahwa apabila orang mengerjakan ibadah haji maka jangan berkata keji yang mengarah pada perbuatan keji seperti berzina, jangan berbuat fusuk (melanggar larangan agama secara sadar), dan jangan melakukan pertengkaran (Q.S.al-Baqarah, 2:197).

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW dinyatakan bahwa haji yang akan memperoleh balasan surga yang mabrur. Menurut Imam al-Kahlani, bahwa yang disebut haji mabrur adalah haji yang semata-mata diniatkan ibadah karena Alloh dan tidak dicampuri dengan perbuatan dosa dan maksiat. Sementara Imam al-Jurjawi mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang akhlaknya lebih baik dibandingkan dengan ketika belum melaksanakan ibadah haji.

Dengan memperhatikan uraian tersebut terbukti secara meyakinkan bahwa ajaran pokok al-Qur’an menekankan masalah pendidikan. Hal ini terlihat dari lima ayat pertama kali diturunkan, yakni surat al-Alaq ayat 1-5 yang berbicara tentang pendidikan dengan aspek-aspek pokoknya, yaitu pendidik (Tuhan), murid (Nabi Muhammad SAW), kurikulum (sesuatu yang belum diketahui manusia), peralatan atau sarana (dengan pena), dan tujuan yakni untuk memperoleh ketakwaan.

Pendidikan amat ditekankan dalam al-Qur’an, karena pendidikan merupakan sarana yang paling strategis dan ampuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengangkat derajatnya dan menjadikannya mampu mandiri, tahu yang benar dan salah. Dengan pendidikan itu orang tidak akan dapat dibodohi, diperbudak, dan sebagainya.

Dengan uraian tersebut dapat kiranya disimpulkan, bahwa hikmah turunnya al-Qur’an adalah untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia dengan cara membina akhlaknya dengan menegakkan ajaran tentang akidah dan syari’ah dengan sebaik-baiknya. Sarana yang paling efektif untuk mencapai ke arah itu adalah pendidikan. Untuk itu jika setiap kali memperingati Nuzul al-Qur’an maka yang harus dipertanyakan, adalah seberapa jauh ajaran dan pesan moralitas al-Qur’an itu telah kita upayakan melalui kegiatan pendidikan. Dengan cara demikianlah kehidupan manusia tidak akan tersedat atau tergelincir arah yang buruk.

Akhirnya suatu hal yang tak boleh dilupakan dalam kerangka memahami ajaran dan pesan al-Qur’an, adalah dimulai dari kegiatan belajar membaca al-Qur’an, menghafalnya, memahami kandungannya, menghayati, dan mengamalkannya secara bertahap dan berkesinambungan. Mereka yang belum dapat membaca al-Qur’an harus ditolong agar dapat membacanya. Setiap orang tua wajib hukumnya memberikan pendidikan dan keterampilan kepada putera-puterinya tentang cara membaca al-Qur’an yang baik. Pada setiap rumah hendaknya senantiasa dikumandangkan ayat-ayat al-Qur’an.

Setiap sudut dan dinding rumah hendaknya dihiasi ayat-ayat al-Qur’an dengan makna dan intisari yang terkandung dalam ayat tersebut. Hal ini sesuai dengan pesan Rasululloh SAW yang mengatakan “hiasilah rumahmu dengan shalat dan membaca al-Qur’an”. Berbagai upaya kegiatan pendidikan yang mengarahkan pada pengajaran al-Qur’an tersebut harus dibantu dengan sepenuh hati.
Mudah-mudahan hal ini dapat dilaksanakan, sebagai bukti dari pengalaman al-Qur’an. Amin

Posting Komentar untuk "Nilai Pendidikan Spiritual Pada Peringatan Nuzulul Quran"